GULA AREN: Alam dan Leluhur Keren

Sesosok pria paruh baya dengan lihai memanjat sebatang bambu atau sigai yang menempel di Pohon Aren, di tengah luasnya perhutanan sosial, Desa Pakuon, Kabupaten Cianjur.

Keseharian pak edi, sang petani gula aren murni

 

Sesosok pria paruh baya dengan lihai memanjat sebatang bambu atau sigai yang menempel di Pohon Aren, di tengah luasnya perhutanan sosial, Desa Pakuon, Kabupaten Cianjur. Pria itu bernama Edi (40). Beliau merupakan anggota dari Kelompok Tani Hutan (KTH) Satria Mandiri. Sehari-hari, beliau mengunjungi hutan untuk melakukan aktivitas di Pohon Aren yang menjulang tinggi. Dengan membawa Lodong, Pak Edi berangkat pada pagi hari yaitu jam 5 lepas subuh dan sore hari jam 5 sebelum petang datang. Lodong merupakan sebutan wadah air pohon aren (nira) yang terbuat dari bambu. Bambu yang digunakan untuk membuat lodong memakai bambu khusus yaitu bambu gombong yang memiliki diameter 10-12 cm.

 

Cara Pak Edi mengambil nira cukup efektif dan efisien. Beliau mengambil nira ke hutan dengan membawa lodong kosong untuk menggantikan lodong yang sudah berisi. Jadi saat pagi maupun petang, beliau bisa membawa pulang dan mengolahnya langsung. Satu lodong maksimal dapat menampung nira sebanyak 5 liter. Biasanya Pak Edi mampu membawa dua lodong sekaligus. Artinya pak edi dalam sehari mampu memproduksi gula aren sebanyak 10 liter nira. Dari 10 liter nira tersebut, biasanya akan menjadi 30-40 batok gula aren dengan range harga persatuan batok adalah Rp 3.000- Rp 5.000. Jadi, dalam sekali produksi gula aren, Pak Edi mampu mendapatkan penghasilan Hingga Rp. 150.000.

Serba serbi keunikan dari pohon aren

 

Pohon aren termasuk pohon yang unik. Di Desa Pakuon penanaman pohon aren masih terbilang alami. Saat pohon aren buahnya yang sudah tua dan menguning, biasanya akan di makan oleh musang. Musang akan menyebarkan bibit pohon aren melalui kotorannya. Musang dapat menemukan tempat menaruh bibit atau kotorannya untuk tempat tumbuh baik pohon aren. Atau cara lain, petani akan mencari kotoran musang sebagai bibit pohon aren dan menanamnya.

 

Pohon aren yang sudah tumbuh belum tentu dapat menghasilkan nira. Munculnya buah kolang-kaling bisa menjadi penanda pohon aren sudah dapat menghasilkan nira. Nira didapatkan dari lengan-lengan yang ada di pohon aren. Lengan tersebut akan di iris-iris atau istilah orang sana “ninggur”.Tidak boleh sembarangan ninggur pohon aren. Mereka percaya hari yang baik untuk ninggur lengan pohon aren adalah hari senin dan jum’at. Setelah pohon aren dininggu, lengan tersebut dipukul-pukul untuk merangsang keluar air niranya. Kemudian lengan yang sudah dininggur tersebut di balur bunga pohon aren dan ditutup dengan daun pacar tare. Setelah 3 hari, dilakukan kembali membalur bunga dan menutup pacar taeri selama 7-10 hari. Jika sudah terlihat air nira mengucur, maka lengan pohon aren tersebut siap di panen yang kurang lebih bisa berlangsung selama 3 bulan. Proses produksi menjadi gula aren murni

 

Kali ini, kami mengikuti aktivitas Pak Tarmidi ketika air nira sudah sampai di rumah dan akan diolah menjadi Gula Aren. Lodong yang dibawa Pak Tarmidi kemudian dituang di dalam wajan besar untuk selanjutnya dipanaskan. Proses memanaskan nira membutuhkan waktu 2,5 jam untuk 5 liter air nira sampai kecoklatan sambil diaduk sesekali. Kemudian,wajan diangkat dari tungku api untuk dicetak kedalam ganduan. Proses berikutnya yaitu memastikan adonan menjadi lebih kental. Pak Tarmidi terus mengaduknya hingga terasa adukan mulai berat. Adonan tersebut kemudian dituang ke dalam caman untuk memudahkan proses pencetakan. Ganduan dan caman yang terbuat dari bambu gombong itu sebelumnya sudah direndam di dalam air agar adonan tidak lengket. Selanjutnya, adonan dalam ganduan dibiarkan sekitar 5-10 menit sampai memadat. Adonan yang memadat tersebut, dilepaskan dari ganduan dan jadilah Gula Aren yang siap dijual kemana saja. Satu kali mengadon gula aren Pak Tarmidi menghasilkan 15-20 ganduan dan dijual dengan harga tiga ribu rupiah per satu ganduan. Pak Tarmidi biasa menjual gula aren ke tetangga-tetangganya karena kapasitas produksi yang masih kecil. Pak Tarmidi berharap kedepannya bisa memproduksi gula aren lebih banyak lagi karena mulai banyak permintaan dari pasar.

 

Selarasnya alam dan leluhur

 

Selama proses pembuatan gula aren bersama Pak Tarmidi, Kami menyempatkan mencicipi gula aren yang baru diangkat dari wajan. Kondisi gula arennya masih hangat, gurih dan manis. Rasanya sama dengan yang kami dapatkan dari proses mengikuti aktivitas pengambilan nira sampai gula aren dicetak. Kami melihat, masyarakat Desa Pakuon begitu hangat dengan alam. Hal itu tergambarkan dari bagaimana cara mereka menjaga alam agar tetap lestari. Mereka punya cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan alam. Mereka juga menyambut kita dalam setiap aktivitas mereka. Terlihat sangat luwes dalam berdialeg, kritis mengarahkan, dan gembira membicarakan keseharian. Kami disuguhkan etika dan adab yang mungkin sudah dari dulu ada. Adab dan etik yang selalu dijga dan diturunkan dari masa ke masa.

 

“ADAB LELUHUR YANG TERUS LESTARI, BUKTI NYATA BUDAYA TERPATRI” – Fendy Surya Dana (Anggota Tim Expedisi)

 

Ada satu cerita menarik yang ingin kami sisipkan di akhir tulisan di akhir tulisan ini. Pohon aren memiliki pantangan. Ketika seseorang sedang berjalan memikul lodong yang berisi air nira, dan disaat bersamaan ada orang lain yang ingin meminta air nira, orang tersebut tidak akan dikasih air nira. Masyarakat sekitar percaya, bahwa meminta air nira yang dipikul di jalan, akan berakibat pada pohon arennya. Pohon aren tersebut tidak akan menghasilkan nira kembali. Sisi lainnya adalah, meminta air nira di jalan bisa bermakna ketidaksopanan. Ada adab yang di junjung tinggi oleh masyarakat untuk beretika dalam berkehidupan. Sangat relevan nilai tersebut hingga sekarang.

 

“ALAM MENYUGUHKAN TEMPAT YANG LUAS UNTUK MANUSIA. MANUSIA MENYEMPITKAN ALAM UNTUK TEMPAT TINGGALNYA.” – Fendy Surya Dana (Anggota Tim Ekspedisi)