Angkringan Hutan Jawa: Pemenuhan Hak Rakyat di Kawasan Hutan

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia banyak ditemui di kawasan hutan negara. Menurut Mimin Dwi Hartono seorang Analis Kebijakan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjelaskan ada sebanyak 535 aduan kasus pelanggaran hak asasi manusia di sektor agraria dan sumber daya alam yang diadukan ke Komnas HAM selama tahun 2023. Sebagian besar kasus tersebut adalah pelanggaran HAM yang berada wilayah kehutanan. Ia menjelaskan data tersebut dalam kegiatan Angkringan Hutan Jawa Seri Keempat yang digagas oleh LATIN dan Perkumpulan HuMa, pada Kamis (21/12) melalui platform Zoom Meetings. Selain dari Komnas HAM, hadir juga Yana Joehana dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PTKL-KLHK). Selain itu ada Siti Rakhma Mary, Peneliti dan Pegiat Agraria dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta Linda Rosalina dari Transformasi Untuk Keadilan (TuK Indonesia) sebagai moderator.

“Transisi energi di sektor kehutanan dengan adanya PLTU co-firing yang akan mencampurkan kayu. Kayu ini dihasilkan dari Hutan Tanaman Energi yang akan diolah 16 PLTU di Jawa. Hutan Tanaman Industri akan berubah menjadi Hutan Tanaman Energi untuk kebutuhan co-firing. Ada potensi dampak penggusuran petani hutan, deforestasi, land grabbing, pelanggaran HAM, peningkatan emisi karbon, dan menghambat agenda reforma agraria”, tambah Mimin. Ia menegaskan kebijakan dan peraturan yang dibuat pemerintah jangan sampai membuat ketimpangan baru untuk masyarakat. Negara perlu memenuhi hak masyarakat khususnya di hutan Pulau Jawa. Kebijakan transisi energi harus melindungi berbagai hak masyarakat sekitar hutan. Lalu perlu juga mendorong dan mengembangkan kemandirian energi terbarukan di tingkat komunitas. Yana Joehana menjelaskan bahwa berdasarkan identifikasi saat ini, tutupan lahan di Hutan Jawa sudah tidak normal. Lahan yang kritis dan tidak produktif wewenangnya diambil ke pusat dengan kebijakan KHDPK untuk kepentingan publik. Saat ini sudah ada tim terpadu yang melakukan identifikasi dan verifikasi terkait tanah obyek reforma agraria yang selanjutnya akan memberikan rekomendasi pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Dari evaluasi PPTKH, tim terpadu merekomendasikan persetujuan pelepasan kawasan hutan seluas 2.384,91 Ha. Penataan kawasan hutan dilakukan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan. Penerapan KHDPK diberlakukan dalam upaya peningkatan pelayanan pemerintah ke masyarakat untuk penyelesaian akses legal masyarakat di kawasan hutan”, tambah Yana Joehana. Menanggapi hal ini, Siti Rakhma Mary menjelaskan bahwa kedudukan negara bukan sebagai pemilik kekayaan alam, namun menguasai dan mengawasi yang seharusnya didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak atas tanah harus dipenuhi negara karena termasuk dalam kewajiban menjamin dan melindungi kemakmuran rakyat. Menurutnya konflik dalam kawasan hutan terjadi karena adanya kriminalisasi seperti operasi hutan lestari di tahun 1999-2000. Termasuk kriminalisasi pada masa pasca reformasi seperti terjadi di Blora dari tahun 1998-2008 dan ada 31 orang meninggal dan 69 luka-luka. Ada 12 tipologi konflik yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan di Jawa. Misal diantaranya karena tanah masyarakat dimasukkan dalam kawasan hutan negara, lalu tukar guling yang belum selesai, konflik dengan perusahaan tambang galian C dan pengambilan sumber mata air untuk air kemasan, dan konflik di wilayah kawasan hutan konservasi. “Penerbitan kebijakan untuk pengelolaan konflik tidak berbasis pada kebutuhan dan kondisi masyarakat. Proses penetapan yang selama ini berjalan perlu ditinjau kembali karena sarat dengan pelanggaran hak-hak masyarakat. Tipologi konflik yang berbeda-beda penting dilihat dalam penyelesaian konflik agraria”, tutup Rakhma.

Keyword: Reforma Agraria, Hutan Jawa, Hak Rakyat Penulis : Novan Aji Editor : Bambang Tri Daxoko, Wahidul Halim