Sustainability 17A-12 Restorasi Ekosistem Restorasi Mindset

Pada tahun 2011 Michael Bloomberg, milyader New York, memberi donasi US$50 juta untuk kampanye Beyond Coal dari Sierra Club, LSM yang bergerak pada isu lingkungan.

Sustainability 17A #12

 

Dwi R. Muhtaman,

sustainability learner

Pada tahun 2011 Michael Bloomberg, milyader New York, memberi donasi US$50 juta untuk kampanye Beyond Coal dari Sierra Club, LSM yang bergerak pada isu lingkungan. Pengusaha, politikus, dermawan, dan penulis Amerika ini kembali menggelontorkan US$30 juta pada tahun 2015. Michael Rubens Bloomberg adalah walikota New York City dari 2002 hingga 2013, dan merupakan kandidat calon Demokrat 2020 untuk presiden Amerika Serikat.

Kegetolannya kampanye anti batubara ini mengganggu Rusty Justice, seorang warga di Kentucky Timur yang merupakan penghasil batubara besar di Amerika Serikat.  “Coal is to Eastern Kentucky what tech is to Silicon Valley.” Dia sebetulnya tak peduli dan tidak kenal dengan Bloomberg, pemilik mayoritas dan salah satu pendiri Bloomberg L.P. Tetapi tingkah kampanye anti batubaranya sangat menjengkelkan karena mengancam sumber mata pencaharian hidupnya selama puluhan tahun. Rusty adalah mantan penambang batubara. Ia mempunyai usaha pengurukan tanah di Kentucky Timur. Gerakan anti-batubara akan membunuh juga industri tempat dia bekerja sepanjang hidupnya.[i]

Efek lingkungan batubara jangka panjang memang benar.  Tetapi dampak ekonominya sangat

brutal. Sekitar 8.000 penambang telah di-PHK dalam empat tahun terakhir hingga 2015.  Jalan menuju penggunaan enerji bersih seperti pembunuhan besar-besaran sepanjang jalan di pegunungan Appalachia dan sekitarnya, tempat kawasan pertambangan itu beroperasi.

Kekesalan Rusty pada Bloomberg makin memuncak ketika pada sebuah acara berita Bloomberg mengatakan pada para penambang “You’re not going to teach a coal miner to code.” Anda gak bakalan bisa ngajarin penambang untuk jadi coder/programmer.   Meski Bloomberg menyitir Mark Zuckerberg yang mengatakan “..you teach them to code and everything will be great.”  Bloomberg gak yakin penambang mampu melakukannya.

Dan Rusty membalikkan itu semua.  Ia mampu melakukannya. Dengan mindset perubahan dan segala upaya ia menjadikan para penambang sebagai coder. Setelah mempelajari, bertanya kesana kemari, diskusi yang tak pernah lelah, akhirnya Rusty bersama rekannya mendirikan perusahaan digital dengan melatih para penambang untuk menjadi coder.  Hasilnya adalah BitSource, nama perusahaan yang didirikan Rusty itu dengan sejumlah besar mantan penambang sebagai coder. BitSource kini menjadi salah satu perusahaan software house ternama di Amerika Serikat.[ii]

Langkah serupa dilakukan oleh Jasa Marga. Setelah pengelola jalan tol itu menerapkan cashless untuk pembayaran tol ribuan karyawannya terancam kehilangan pekerjaan.  Dengan mindset pimpinan yang terbuka dan percaya akan kemampuan otak dan daya adaptasi manusia, mereka mengubah sebagian dari 5.000 karyawan tolnya itu menjadi coder.  Kebijakan Go Cashless membutuhkan beragam coder untuk banyak pekerjaan-pekerjaan baru.  Ada karyawan yang sepanjang hidupnya tidak pernah menyentuh komputer berubah menjadi coder.[iii]

Semua berawal dari mindset, polapikir yang percaya pada kemampuan manusia untuk mengubah sesuatu dan mencapai sesuatu yang dibayangkan, dicita-citakan, diyakini. 

Maka restorasi ekosistem harus juga melakukan restorasi mindset.

Tahun 2021 adalah awal dari kampanye The UN Decade on Ecosystem Restoration (2021-2030).  Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem adalah seruan untuk melindungi dan menghidupkan kembali ekosistem di seluruh dunia, demi kepentingan manusia dan alam. Seruan ini juga bertujuan untuk menghentikan degradasi ekosistem, dan memulihkannya untuk mencapai tujuan global. Hanya dengan ekosistem yang sehat kita dapat meningkatkan mata pencaharian masyarakat, mengatasi perubahan iklim, dan menghentikan keruntuhan keanekaragaman hayati.

Dekade 2021 hingga 2030 ini juga merupakan tenggat waktu untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan tatawaktu yang telah diidentifikasi oleh para ilmuwan sebagai kesempatan terakhir untuk mencegah bencana perubahan iklim.  Hingga 2020 pencapaian SDGs masih belum seperti yang diharapkan. “Change was still not happening at the speed or scale required,” kata António Guterres, Sekretaris Jendral PBB dalam sambutannya pada The Sustainable Development Goals Report 2020.[iv]

Rentang waktu 2021-2030, yang disebut juga sebagai Decade of Action untuk implementasi  SDGs ini, diharapkan untuk “..renewed ambition, mobilization, leadership and collective action, not just to beat COVID-19 but to recover better,together – winning the race against climate change, decisively tackling povertyand inequality, truly empowering all women and girls and creating moreinclusive and equitable societies everywhere.”[v]

Gerakan global yang kuat dan berbasis luas sangat diperlukan untuk meningkatkan pemulihan ekosistem dan menempatkan dunia di jalur yang tepat bagi masa depan yang berkelanjutan. Dekade ini adalah upaya membangun momentum politik untuk restorasi dan mendukung ribuan inisiatif di lapangan secara global.[vi]

Sumberdaya bumi sebagai penopang utama kehidupan manusia dan keberlangsungan alam mengalami penurunan yang dramatis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Tingkat kepunahan spesies semakin cepat, dengan dampak yang sangat besar bagi manusia di seluruh penjuru dunia saat ini, seperti dilaporkan oleh the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), pada pertemuannya 29 April – 4 Mei 2020 di Paris.  Pertemuan itu antara lain memaparkan bukti-bukti ilmiah dari

the IPBES Global Assessment yang diterbitkan.

“Bukti luar biasa yang menyajikan gambaran yang tidak menyenangkan,” kata Ketua IPBES, Sir Robert Watson. “Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung memburuk lebih cepat dari sebelumnya. Kita mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, ketahanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup kami di seluruh dunia.”  Meskipun pada satu sisi Laporan tersebut memberi optimisme bahwa belum terlambat untuk mengubahnya dan melakukan sesuatu, tetapi hanya jika kita mulai sekarang di setiap level dari lokal hingga global. [vii]

Watson menekankan pentingnya melakukan ‘perubahan transformatif’– perubahan yang mengharuskan kita melakukan reorganisasi fundamental di seluruh sistem di seluruh faktor teknologi, ekonomi dan sosial, termasuk paradigma, tujuan, dan nilai. Dengan ‘perubahan transformatif’ alam masih dapat dilestarikan, dipulihkan, dan digunakan secara berkelanjutan.  Seperti disebutkan dalam Immovilli dan Kok (2020), Narratives for the ‘Half Earth’ and ‘Sharing the Planet’ Scenarios. A Literature Review: bahwa sebagian ahli berpendapat bahwa pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati karena komponen struktural dari sistem politik dan ekonomi saat ini dan bagaimana barang, manfaat, dan beban didistribusikan (tidak merata). Pada tingkat yang lebih konseptual, mereka melihat pemisahan (beberapa) manusia dari (beberapa) alam sebagai fitur yang mendukung eksploitasi alam dan, akibatnya, hilangnya keanekaragaman hayati.[viii]

Hutan dan pepohonan misalnya membuat Bumi layak huni. Ia memberi kita udara dan air bersih. Dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar dan mengatur iklim, ia merupakan pertahanan kritis terhadap pemanasan global. Ia juga rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati yang menakjubkan di planet ini. Memberikan keteduhan, rekreasi dan rasa kesejahteraan. Dan ia mendukung mata pencaharian miliaran orang di seluruh dunia.

Dalam beberapa dekade ini, sayangnya, ekosistem hutan di bawah ancaman dari pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lebih banyak lahan dan sumber daya. Secara global, kita kehilangan sekitar 4,7 juta hektar hutan tropis setiap tahun, sedikit lebih kecil dari luas wilayah Republik Indonesia (5.193.250 km²). Komoditas pertanian seperti minyak sawit dan peternakan sapi menggerogoti wilayah hutan global. Banyak hutan yang tersisa terdegradasi karena penebangan, penebangan kayu bakar, polusi, dan serangan hama. Bahkan pepohonan di luar hutan menghilang untuk rumah, jalan dan bendungan serta untuk pertanian intensif. Kebakaran hutan, yang diperparah oleh perubahan iklim, dapat merusak ekosistem hutan.

Memulihkan ekosistem hutan bukan hanya urusan pengembalian pohon ke lahan hutan sebelumnya dan memperbaiki kondisi hutan yang rusak. Tetapi juga mengembalikan fungsi-gunsi sosial budaya ekonomi masyarakat yang hidup dari kekayaan hutan itu.

Lanskap yang sehat, produktif dan memberi manfaat vital adalah tantangan kunci yang mendesak. Pertanian saat ini, menurut laporan itu, menyediakan hampir satu dari setiap tiga pekerjaan di seluruh dunia. Namun kita kehilangan jasa ekosistem termasuk produksi pangan bernilai lebih dari US$6 triliun setahun akibat erosi dan degradasi.  Kerusakan wilayah pertanian akan mendorong pembukaan lahan berhutan untuk pertanian. Degradasi lingkungan yang sedang berlangsung di wilayah pedesaan dapat mengacaukan tatanan sosial dan ekonomi di banyak wilayah  lain planet kita.

Restorasi hutan dan lanskap adalah proses membalikkan degradasi tanah, area pertanian, hutan, dan daerah aliran sungai dengan demikian memperoleh kembali fungsi ekologisnya. Pemulihan bisa terjadi dengan  langkah-langkah mengintegrasikan lebih banyak dan variasi spesies pohon ke dalam taman, pertanian, ladang dan hutan; atau dengan membiarkan regenerasi alami dari penggembalaan berlebihan, ekosistem yang tercemar atau yang digunakan secara berlebihan. Restorasi ini adalah proses untuk meningkatkan produktivitas dan kapasitas lanskap untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat yang terus berubah.[ix]

Kita hidup di planet biru, dengan samudra dan lautan menutupi lebih dari 70 persen bumi. Lautan memberi makan kita, mengatur iklim kita, dan menghasilkan sebagian besar oksigen yang kita hirup. Mereka mendukung sektor utama ekonomi seperti pariwisata dan perikanan. Dan mereka menyimpan keanekaragaman hayati dari paus hingga plankton di habitat dari terumbu yang diterangi matahari hingga lautan kutub.

Meskipun penting, lautan dan pantai menghadapi ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jutaan ton sampah plastik memasuki lautan dunia dan membahayakan makhluk termasuk burung laut, penyu, dan kepiting. Perubahan iklim merusak terumbu karang dan ekosistem utama lainnya. Penebangan kayu dari bakau untuk budidaya ikan dan kegiatan lainnya menyebabkan kerusakan ekosisten pantai yang amat penting. Penangkapan ikan berlebihan mengancam stabilitas stok ikan, polusi nutrisi berkontribusi pada pembentukan zona mati, dan hampir 80 persen air limbah dunia dibuang tanpa pengolahan.[x]

Apa yang terjadi di laut nyatanya tidak jauh berbeda dengan yang dialami ekosistem hutan. Memulihkan lautan dan pantai berarti mengurangi tekanan pada ekosistem tersebut. Sehingga mereka dapat pulih, baik secara alami maupun dengan mengembalikan spesies kunci. Upaya-upaya yang memberi risiko atas perubahan ekosistem itu perlu dilakukan. Polutan harus diolah sebelum mencapai laut. Limbah padat seperti plastik dicegah memasuki wilayah laut. Kota pesisir yang sedang berkembang harus melindungi, bukan menggantikan, ekosistem pesisir. Dan terumbu karang, bakau, dan lamun harus dikelola dengan hati-hati dan secara aktif direstorasi agar lautan terus mendukung miliaran mata pencaharian secara global. [xi]

Tantangan-tantangan juga dihadapi oleh ekosistem lainnya. Termasuk di kota. Tekanan komersial dapat membuat kota-kota, khususnya kota besar memiliki terlalu banyak aspal dan terlalu sedikit ruang hijau. Memulihkan ekosistem besar dan kecil melindungi dan meningkatkan mata pencaharian orang-orang yang bergantung padanya. Ini juga membantu mengatur penyakit dan mengurangi risiko bencana alam.

Prakarsa Dekade Retorasi Ekosistem dimaksudkan untuk mengembalikan sebisa mungkin kondisi ekosistem yang terbaik yang memungkinkan alam berfungsi maksimal untuk menopang kehidupan di Bumi.

Restorasi ekosistem berarti membantu pemulihan ekosistem yang telah rusak atau hancur, serta melestarikan ekosistem yang masih utuh. Ekosistem yang lebih sehat, dengan keanekaragaman hayati yang lebih kaya, menghasilkan manfaat yang lebih besar seperti tanah yang lebih subur, hasil kayu dan ikan yang lebih besar, dan simpanan gas rumah kaca yang lebih besar.

Restorasi dapat terjadi dengan berbagai cara – misalnya melalui penanaman secara aktif atau dengan menghilangkan tekanan sehingga alam dapat pulih dengan sendirinya. Tidak selalu mungkin – atau diinginkan – untuk mengembalikan ekosistem ke keadaan aslinya. Kita masih membutuhkan lahan pertanian dan infrastruktur di lahan yang dulunya hutan, misalnya, dan ekosistem, seperti masyarakat, perlu beradaptasi dengan perubahan iklim.

Antara sekarang dan 2030, pemulihan 350 juta hektar ekosistem darat dan perairan yang rusak dapat menghasilkan US$9 triliun dalam jasa ekosistem. Restorasi juga dapat menghilangkan 13 hingga 26 gigaton gas rumah kaca dari atmosfer. Manfaat ekonomi dari intervensi semacam itu melebihi sepuluh kali lipat biaya investasi, sedangkan kelambanan setidaknya tiga kali lebih mahal daripada restorasi ekosistem.[xii]

Semua jenis ekosistem dapat dipulihkan, termasuk hutan, lahan pertanian, kota, lahan basah, dan lautan. Prakarsa restorasi dapat diluncurkan oleh hampir semua orang, mulai dari pemerintah dan lembaga pembangunan hingga bisnis, komunitas, dan individu. Hal tersebut karena penyebab degradasi banyak dan beragam, serta dapat berdampak pada skala yang berbeda.

Namun restorasi ekosistem akan efektif jika juga dilakukan restorasi mindset dari semua orang. Mindset atau polapikir yang antusias untuk berkembang, memimpin dan melayani dengan nilai-nilai sustainability. Mengembangkan apa yang disebut growth mindset–sebuah polapikir yang mengasumsikan bahwa pertumbuhan dan peningkatan yang berkelanjutan adalah mungkin (Capozzi, 2017). Orang dengan growth mindset bertanggung jawab penuh atas hidup mereka. Mereka percaya bahwa dengan motivasi dan keterampilan yang tepat, potensi sejati siapa pun sebenarnya tidak terbatas. Tidak butuh waktu lama untuk mengenali seseorang yang hidup dengan pola pikir ini. Orang dengan pola pikir ini memiliki rasa ingin tahu; mereka terbuka terhadap kemungkinan, mereka memiliki pandangan yang positif, dan mereka memiliki keinginan untuk belajar dan make a difference. Singkatnya, growth mindset mendorong pertumbuhan berkelanjutan secara pribadi dan profesional.[xiii] Bertanggungjawab atas apa yang dilakukan hari ini terhadap kekayaan yang dimilikinya (kekayaan alam dan kekayaan material pribadi) dan sadar akan segala dampak bagi generasi yang akan datang.

Lebih spesifiklagi Isabel Rimanoczy menyebutnya sebagai “The sustainability mindset.[xiv]“Elemen-elemen prinsip The sustainabilitymindset (polapikirkeberlanjutan) berkaitandengan the knowing (ecoliteracy),thinking (systemic and innovative thinking), and being (values, purpose).

Gambar 1.  Sifat-sifat menyeluruh dari Sustainability mindset

The Sustainability Mindset didefinisikan sebagai “cara berpikir dan menjadi (being) yang dihasilkan dari pemahaman yang luas tentang manifestasi ekosistem,dari kepekaan sosial, serta fokus introspektif pada nilai-nilai pribadi dandiri yang lebih tinggi, dan diekspresikan dalam tindakanuntuk kebaikan yang lebih besardan menyeluruh.”[xv]  (Kassel, Rimanoczy, & Mitchell, 2018,hlm. 7).  Gambar 1 adalah gambaran fokus sustainability mindset yang mencerminkanhubungan faktor-faktor individual dan kolektif terhadap sifat-sifat internaldan eksternal.  Terdapat 12 prinsip dalamsustainability mindset yangdikategorikan dalam empat bidang: EcologicalWorldview (berhubungan dengan pemahaman atas planet dan kita merasakannya; Systems Perspective (mengolah informasidengan menggunakan lensa sistemik); EmotionalIntelligence (khususnya senantiasa introspektif untuk meningkatkankesadaran diri dan mengembangkan nilai-nilai personal); dan Spiritual Intelligence (berhubungandengan pertanyaan tentang spiritualitas), Gambar 2.

Gambar 2.  Terdapat 12 Prinsip Sustainable Mindset dalam empat Bidang

Semua sifat (internal dan eksternal yang melekat pada individual dan kolektif) saling terhubung (Gambar 3).  Seperti halnya sebuah ekosistem maka semua itu saling terhubung dan mempengaruhi.  Tidak ada elemen apapun yang berdiri sendiri.  Decade of Action, termasuk Decade of Restoration Ecosystem, harus juga menyasar pada sustainability mindset individual dan kolektif untuk bisa memberi kontribusi pencapaian target masing-masing.

Menurut Rimanoczy, interkoneksi antara Prinsip-Prinsip tersebut menunjukkan bahwa polapikirkeberlanjutan memiliki banyak lapisan. Sebuah lensa kompleksyang dihasilkan dari berbagai proses intelektual untuk menganalisis danmengelompokkan kembali informasi disertai dengan wawasan pribadi yang mendalam.Ini mencakup spektrum dari yang lebih konkret, fakta kognitif hingga pemahamanyang paling tidak dapat dipahami dan intuitif.

Gambar 3.  Keterhubungan dari 12 prinsip sustainable mindset

Kompleksitas ini mungkin menjadi alasan orang cenderung enggan bekerja untuk mengembangkan polapikir keberlanjutan. Tetapi pada sisi lain makin banyak pula yang mengembangkan dan menerapkan pola pikir sistem, pola pikir holistik.  Sustainability mindset adalah sebuah pendekatan polapikir sistem.  Belajar dari ekosistem alam maka kita juga perlu berpikir dan bertindak sebagai bagian dari sistem yang lebih luas. 

Maka restorasi ekosistem tidak cukup hanya menyentuh ekosistem alam tanpa melakukan restorasi mindset manusianya seperti teladan yang ditunjukkan oleh Rusty Justice: memberi kontribusi restorasi ekosistem Appalachia dengan melakukan restorasi mindset agar mampu memberi kontribusi pada restorasi ekosistem. 

Mengubah our great mistake menjadi our great opportunity. Seperti nasihat Sir David Attenborough dalam buku barunya, “A Life on Our Planet,” “….kita masih mempunyai kesempatan menebus kesalahan, mengelola dampak, mengubah arah pembangunan kita dan sekali lagi menjadi spesies yang selaras dengan alam. Yang kita butuhkan hanyalah kemauan. Beberapa dekade berikutnya merupakan kesempatan terakhir untuk membangun rumah yang stabil bagi diri kita sendiri dan memulihkan dunia yang kaya, sehat dan indah yang kita warisi dari nenek moyang kita yang jauh. Masa depan kita di planet ini, satu-satunya tempat sejauh yang kita tahu di mana kehidupan apa pun ada, sedang dipertaruhkan.”[xvi]

 


 

[i] https://www.wired.com/2015/11/can-you-teach-a-coal-miner-to-code/

[ii] https://bitsourceky.com

[iii] Dr. Alex Denni dan Triaji Prio Pratomo, MBA.  Learning 5.1: Duluan Tiba di Masa Depan (KPG, 2020), dan percakapan publik dan pribadi.

[iv] https://unstats.un.org/sdgs/report/2020/The-Sustainable-Development-Goals-Report-2020.pdf

[v] SDG Report, 2020.

[vi] https://wedocs.unep.org/bitstream/handle/20.500.11822/31813/ERDStrat.pdf?sequence=1&isAllowed=y

[vii] https://www.un.org/sustainabledevelopment/blog/2019/05/nature-decline-unprecedented-report/

[viii] Marco Immovilli and Marcel T. J. Kok, Narratives for the ‘Half Earth’ and ‘Sharing the Planet’ Scenarios. A Literature Review (2020).  PBL Netherlands Environmental Assessment Agency. The Hague, 2020

[ix] Besseau, P., Graham, S. and Christophersen, T. (eds.), 2018. Restoring forests and landscapes:

the key to a sustainable future. Global Partnership on Forest and Landscape Restoration, Vienna,

Austria.

[x] https://www.decadeonrestoration.org/types-ecosystem-restoration/forests

[xi] https://www.decadeonrestoration.org/types-ecosystem-restoration/oceans-and-coasts

[xii] https://www.decadeonrestoration.org/what-ecosystem-restoration

[xiii] Capozzi, Rick.  2017. The Growth Mindset: Leaderships Make different in Wealth Management.

[xiv] Rimanoczy, Isabel. 2021. The sustainability Mindset Principles: A Guide to Develop a Mindset for a Better World.  New York, NY: Routledge.

[xv] Capozzi, Rick.  2017.  the sustainability Mindset is defined as “a way of thinking and being that results from a broad understanding of the ecosystem’s manifestations, from social sensitivity, as well as an introspective focus on one’s personal values and higher self, and finds its expression in actions for the greater good of the whole” (Kassel, Rimanoczy, & Mitchell, 2018, p 7).

[xvi] “We can yet make amends, manage our impact, change the direction of our development and once again become a species in harmony with nature. All we require is the will. The next few decades represent a final opportunity to build a stable home for ourselves and restore the rich, healthy and wonderful world that we inherited from our distant ancestors. Our future on the planet, the only place as far as we know where life of any kind exists, is at stake.” (David Attenborough, “A Life on Our Planet: My Witness Statement and a Vision for the Future” (2020).