Gagas Ruang Belajar Berkualitas untuk Anak Bangsa yang Berintegritas

Obrolan Lestarilah Indonesia Musim 09 kali ini dihadiri oleh Kusuma Diah Sekar Arum, atau biasa dipanggil Ara. Ara adalah sosok yang senang bertanya banyak hal sejak kecil dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bersyukur Ara memiliki orang tua yang juga mau bersabar menanggapi berbagai pertanyaan Ara, serta menjadi teman belajar dan diskusi Ara sejak kecil.

Obrolan Lestarilah Indonesia Musim 09 kali ini dihadiri oleh Kusuma Diah Sekar Arum, atau biasa dipanggil Ara. Ara adalah sosok yang senang bertanya banyak hal sejak kecil dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bersyukur Ara memiliki orang tua yang juga mau bersabar menanggapi berbagai pertanyaan Ara, serta menjadi teman belajar dan diskusi Ara sejak kecil.

Sejak kecil Ara sering diajak liburan ke desa oleh orang tuanya. Berkunjung ke petani dan peternak membuat Ara semakin antusias mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dan memunculkan rasa menghargai sebuah hasil. Ia menyadari bahwa dari sebuah hasil itu terdapat proses yang sangat panjang. Rasa penasaran Ara yang difasilitasi menjadi pemicunya untuk bisa mengasah empati dan peduli dengan sekitarnya. Kesempatannya untuk eksplorasi, contohnya ketika melihat sapi di Salatiga, memunculkan pertanyaan baru selain 5W1H, tetapi juga pertanyaan “bagaimana jika”. Dari sini Ara mulai belajar untuk melihat berbagai macam perspektif, sehingga muncullah Mush Project.

Mush project berfokus pada segi pengembangan kapasitas peternak dan keluarganya. Project ini meningkatkan kapasitas keterampilan para peternak sapi di desa dengan mengadakan event dan mengundang para ahli untuk berbagi ilmu melalui pelatihan para peternak. Produk susu yang awalnya hanya dijual mentah kini mereka olah jadi bermacam produk, seperti yogurt, pie susu, dan sebagainya. Project ini berlangsung selama empat tahun dan harus berhenti karena alasan tertentu.

Melalui Mush Project ini, Ara mendapat penghargaan dari Ashoka Changemaker ketika berumur 10 tahun. Meskipun Mush Project berhenti, banyak pelajaran yang diambil Ara. Pertama, perubahan itu tidak mudah dan tidak nyaman. Ara menyadari waktu empat tahun memang tidak cukup untuk membawa perubahan yang besar hingga ke dalam sistem. Kedua, perlu masuk ke masyarakat melalui budaya dan perlu tahu pola komunikasi masyarakat setempat. Saat itu, Ara yang masih kecil dengan kemampuan Bahasa Jawa yang tidak terlalu mahir, tidak serta merta langsung membuatnya bisa diterima dengan ide-ide yang dia bawa. Ia melakukan strategi dengan mencari orang yang sekiranya dapat mengkomunikasikan ide ini ke masyarakat. Ketiga, terdapat aha moment, dimana ia belajar dari desa ini untuk menemukan visi hidupnya sendiri, yaitu sejahtera bersama-sama.

Dasar dari Mush Project adalah pendidikan. Bagaimana membawa ilmu baru dan membangun ruang belajar bersama. Dasar yang sama juga dipakai pada Aha Project yang di inisiasi Ara. Dimulai dari kebiasaan mengamati lingkungan dari jendela rumah saat pandemi, dimana ia melihat anak-anak yang bermain di luar rumah, hingga muncul berbagai pertanyaan mengenai bagaimana pendidikan anak-anak ketika masa pandemi ini. Muncullah aha moment tersebut.

Ara melihat melihat banyak anak-anak di luar yang terhambat pendidikannya karena infrastruktur, fasilitas, dan sebagainya, semakin terhambat karena adanya pandemi. Melalui Aha Project yang didampingi oleh local champion, sebutan relawan atau fasilitator lokal Aha Project, anak-anak di desa atau pun di perkampungan perkotaan dapat tetap belajar. Aha Project menggunakan lembar kerja dan cerita sebagai basisnya. Bersama relawan lokal, anak-anak belajar dengan interaktif, langsung dekat dengan alam, kontekstual, dan menyenangkan.

Aha Project berfokus di desa terutama desa 3T. Tetapi tidak memungkiri ada perkampungan di kota yang perlu bantuan juga. Ara menyadari bahwa sebetulnya alam itu ada di mana-mana, apakah kita menyadarinya atau tidak. “Seperti anak di Cikahuripan Bogor, anak-anak ada yang bertanya mengenai bunga, kenapa bunganya ada di sini dekat rumahnya, kenapa di rumah temenku ga ada ya. Akhirnya dia belajar dan tertarik dengan bunga dan sekitarnya.” Ujar Ara. Aha Project yang sudah berlangsung selama dua tahun ini muncul untuk memfasilitasi anak-anak yang hamper kehilangan momen belajarnya selama pandemic. Dengan kondisi pandemi yang semakin membaik dan aktivitas yang mulai normal, menjadi tantangan baru untuk Aha Project kedepannya.

Everyone can be a changemaker. Kita sebagai individu apapun profesinya, semuanya bisa membuat perubahan ala kita masing-masing.” Ucap Ara. “Fokus saya sendiri, adalah ke anak-anak mudanya. Bersama dengan teman-teman Ashoka, kita bekerja sama dengan jejaring anak muda, dengan sekolah-sekolah. Bersama dengan jaringan sekolah ini dan Ashoka, membangun komunitas anak muda yang bisa mengasah kepeduliannya dengan lingkungan sekitar, ga Cuma jadi anak pintar. Kita juga perlu empati untuk mengaplikasikan pengetahuan yang kita punya.” Ara berharap komunitas changemaker ini menjadi wadah untuk anak muda untuk bisa bergerak melakukan aksi nyata. Ia berpendapat bahwa setiap orang punya perannya masing-masing untuk bermanfaat, tidak selalu harus sebagai inisiator. Inisiator tanpa tim yang support juga tidak bisa berjalan.

Diskusi musim ini ditutup oleh statement Ara tentang bagaimana ia melihat masa depan Indonesia, “Pendidikan yang berkualitas itu ya yang bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sehingga bisa menghadapi perubahan jaman dan bisa terus berkembang. Di era yang jamannya berubah dengan drastis, bagaimana pandemi merubah banyak hal, bagaimana sistem yang ada sekarang itu sangat rentan. Teman-teman harus bersyukur ada di momen yang langka banget, momen dimana kita ditampar oleh pandemi supaya bisa bangun dan sadar apa yang bener-bener dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar kita, apa yang dibutuhkan oleh dunia. Mari kita coba refleksikan dalam diri, apa sebetulnya kekuatan yang kita miliki, yang bisa aku kontribusikan. Lalu kita buka mata supaya kita tau apa yang dibutuhkan lingkungan sekitar kita, dengan empati, dengan kepedulian dan kepekaan sosial terhadap sesama, dari situlah dikoneksikan, untuk mencari solusi-solusi kreatif, dengan aksi nyata, untuk kehidupan yang lebih lestari.” (IK)