Harmoni Alam dan Tradisi: Mereka yang telah lebih dulu memadu janji dengan hutan

“Penggerak desa di indonesia dari ujung timur pulau jawa, tokoh yang saat ini sedang mempraktekkan bagaimana desa menjadi kekuatan besar dalam pembangunan indonesia”. Jember- SUPORAHARDJO- Founder Tanoker Ledokombo

“Penggerak desa di indonesia dari ujung timur pulau jawa, tokoh yang saat ini sedang mempraktekkan bagaimana desa menjadi kekuatan besar dalam pembangunan indonesia”. Jember- SUPORAHARDJO- Founder Tanoker Ledokombo

Dimulai dengan menemani anak-anak di kampung belajar dan bermain permainan tradisi, dari sini kegiatan mereka menggerakkan perubahan sosial di desa, anak-anak lebih semangat mengembangkan dan memelihara permainan tradisi,  para  pemuda- ibu bapak juga bersemangat berwirausaha sosial secara gotong royong bersama-sama menghasilkan produk kerajinan, kuliner mengembangkan wisata desa dan lansia bangkit aktif serta  kegiatan ekonomi lokal. Sinergitas antar berbagai elemen anak-anak dewasa hingga lansia menjadi kekuatan yang mengukuhkan kita disini untuk melakukan hal kreatif, membaca tanda zaman, berbasiskan kearifan lokal warisan leluhur kami. Semoga dengan kekuatan kegotong royongan, solidaritas dan kohesi sosial yang kami semua upayakan sejak dini akan menjadi sinaran walau kecil yang menyumbang kepada indonesia masa depan, indonesia yang lebih optimis dan indonesia yang lebih berdaya.

Bermula dari panggilan ibu harus pulang merawat ibu  yang sendirian di usia 80 tahun, sehingga harus pulang meninggalkan jakarta-bogor ketika pulang dengan anak-anak yang masih kecil di usia masih kecil.  Ketika pulang pertanyaan anak-anak, ketika ayah kecil bermain apa saja, dan ada 1 permainan yang tidak mereka kenal yaitu  “egrang”.  Namun anak-anak kurang suka bermain balapan egrang,sehingga dimodifikasi bermain egrang sambil menari, dan ini termasuk kreasi produk budaya bagian dari sebuah tradisi lisan yang ditradisikan secara turun-temurun terhadap generasi berikutnya, tetapi anak-anak generasi berikutnya memodifikasi menjadi tarian, dan ini adalah hal yang menarik. Permainan tradisi ini menjadi alat yang men-entertain, karena menjadi tarian kemudian anak-anak diundang, kemudian banyak undangan berdatangan sehingga adanya proses-proses dampak akibat adanya modifikasi permainan egrang itu anak-anak ini menjadi ruh trigger perubahan di komunitasnya jadi perubahan secara ekonomi dan budaya anak-anak kemudian dari sini banyak tamu  yang penasaran dengan komunitas ini yang menghidupkan kembali permainan tradisi sehingga dapat mendorong para  orangtua nya, karena banyak tamu sehingga muncul inisiatif membuat souvenir dan terbentuklah kelompok-kelompok kerajinan. Kemudian ada pengunjung juga tertarik dengan kuliner sehingga muncul kelompok-kelompok kuliner hingga muncul homestay penginapan untuk para pengunjung. Hal ini membuktikan bahwa dari permainan anak-anak dapat berkelanjutan dari berbagai aspek budaya hingga aspek ekonomi sampai ke hal-hal kreatif yang salah satunya muncul sekolah-sekolah bapak-bapak sekolah ibu-ibu kemudian diframing muncul menjadi sebuah paket wisata.

 

Memiliki 7 komunitas, di setiap komunitas memiliki nilai-nilai dan kampung kami terkenal menjadi kampung wisata edukasi, jadi setiap kelompok ke tanoker punya nilai-nilai persahabatan dan keseimbangan karena bermain egrang butuh keseimbangan, kemudian permainan full lumpur itu punya makna cinta tanah air, kemudian ada kelompok manik-manik merangkai menjadi kalung gelang juga memberdayakan komunitas di sekitarnya lalu diekspor ke berbagai negara dan transfer ilmu pengetahuan ke luar negeri. Kemudian di tanoker terdapat komunitas ibu-ibu dan bapak-bapak lebih ke gotong royong dan kesetaraan karena lebih diskusi bagaimana pengasuhan anak. Hampir 300 anak di desa kurang dari pengasuhan orangtua, sehingga membuat arena dimana orang-orang bisa saling belajar baik anak-anak hingga anak muda, ada forum anak desa, kemudian antar orangtua saling belajar. Karena kita berprinsip bila orang berilmu pasti akan ditinggikan derajatnya oleh yang maha kuasa, jadi kita dorong bahkan kita berprinsip semua orang adalah guru.

Beberapa anak muda bikin batik yang motif enggrang itu punya nilai-nilai kemandirian, jadi dia bisa jadi tempat belajar dan tempat rekreasi juga, kemudian didekat kita ada juga pesantren dimana anak-anak disana dapat belajar secara gratis dan dititipkan orang tuanya yang bekerja diluar negeri, dengan keterbatasan dia membangun pendidikan dari hasil kopi.  Ada juga kelompok ibu-ibu yang tinggal di hutan juga, mereka mencoba kopi yang dipanen diproduksi menjadi produk kopi yang dilakukan komunitas.  Yang mereka lakukan adalah membangun agar masyarakat punya kebiasaan yang baik termasuk menjadi manusia pembelajar itu yang selalu kita dorong, kita selalu membuat arena-arena sehingga orang-orang dari luar juga bisa saling share untuk mendorong semua dari anak-anak hingga pemuda.  Komunitas tanoker berdiri ya karena anak-anak yang mereka berkumpul kemudian mereka bikin nama menjadi “tanoker” yang artinya kepompong persahabatan. Lalu anak-anak punya prinsip yang dipegang yaitu bermain, bergembira, berkarya, itu yang menjadi prinsip mereka, memang waktu mendiri tanoker bersama anak-anak ini sudah membayangkan bahwa tanoker ini akan berjalan dengan sebesar ini ada banyak kan tadi nilai-nilai baru yang mungkin berkembang di masyarakat.  Tapi ketika itu proses berjalan kita mulai melihat itu secara tidak sadar apa proses-proses yang kita lakukan itu sebetulnya bisa kita framing sebagai pengetahuan.

“Hari ini saya juga ini akhirnya nyambung gitu bisa jadi SF 2045 itu nantinya ya mengadopsi prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh tanocker ini gitu sehingga nanti hutan dan lingkungan tetap Lestari tapi masyarakat Sejahtera karena sudah merasa cukup gitu bukan apa yang diinginkan gitu tapi apa yang cukup dibutuhkan gitu prinsip kesederhanaan. Saya dulu memang sangat konsen pada hubungan antara manusia dan hutan karena sejak itu saya meneliti tentang perladangan.  Bagaimana masyarakat merintis membuka ladang-ladang perkebunan di Sumatera saya juga tapi dari situ saya tetap mencoba fokus kepada isu-isu cuma dilihat dari perspektif ilmu sosiologi isu tentang kemudian LATIN menjerumuskan saya sehingga saya menekuni bagaimana mengelola konflik -konflik di lingkungan dan konflik-konflik komunitas, hal itu membuat saya juga terus sering memfasilitasi berapa training-training. Saya menekuni Bagaimana menjadi fasilitator yang baik kemudian Mas Dani dan Mbah Puji juga menekuni itu kan, banyak menerjemahkan metodologi teknik fasilitasi dan sampai sekarang dan ilmu itu saya terapkan di saya, bagaimana menjadi temannya masyarakat mulai dari anak-anak itu yang dan menciptakan arena arena agar orang terjadi proses saling belajar itu yang kita lakukan.  Sebagai penonton kita mengawal pertunjukan social forestry nah bagaimana kita membantu menciptakan arena-arena itu, sehingga terbangun kesadaran bahwa social forestry itu merupakan hal yang penting untuk menjadi sebuah gerakan untuk memakmurkan warga dan melestarikan sumber daya alam”.  Ujar suporahardjo founder tanoker ledokombo. 

 

Penulis: Adella Putri