Konflik Agraria dalam Pandangan Islam


Forum Syi’ar Agraria di Kantor Perkumpulan HuMa Indonesia. Selasa (12/04/20230, Foto: Annisa Aliviani)

JAKARTA, LATIN.OR.ID – Islam merupakan agama dan ideologi yang bergerak dalam berbagai ranah di Indonesia, khususnya pada perfgerakan politik. Dalam hal ini, urusan politik dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab Islam bukanlah agama yang hanya mengatur persoalan ibadah individu melainkan mengajarkan segala urusan hidup. Salah satunya persoalan politik kenegaraan sebagai alat untuk mengontrol pemegang kebijakan menegakan keadilan bagi rakyat.

Disisi lain menyempitnya ruang demokrasi di Indonesia telah berpengaruh pada ditutupnya ruang partisipasi rakyat, padahal partisipasi masyarakat memiliki fungsi penting, diantaranya adalah sebagai sarana masyarakat untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepentinganannya sehingga proses kebijakan daerah menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Hendaru Djumantoro selaku perwakilan HuMa mengatakan, umat islam sudah seharusnya resah terhadap dua hal ini, namun kebanyakan ceramah di media mainstream hanya berfokus pada ranah peribadatan jarang sekali tersedia kajian kritis dalam memperjuangkan keadilan.

Pada hari ini [11/04/2023], Tim LATIN berkesematan hadir dalam forum Syiar Agraria yang diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa Indoneisa. Forum ini telah kesekian kalinya diselenggarakan setiap satu bulan sekali sebagai upaya desiminasi kerja-kerja HuMa dalam memperjuangkan keadilan, ekologis dan prularitas hukum. Hendaru menjelaskan, Syi’ar Agraria hadir sebagai forum mengkritisi kebijakan-kebijakan nasional yang menindas kaum mustadh’afin. Menyempitnya ruang demokrasi menjadi sebab langgengnya ketimpangan dan perampasan lahan. Kebijakan yang seharusnya menyejahterakan rakyat, justru menjadi alat legitimasi penghabisan ruang hidup rakyat.

Dewi Sutedjo, salah satu narasumber dari Jaringan Kerja Partisipatif (JKPP), menyajikan data potret konflik agraria hingga tahun 2023. Berdasarkan platform Tanahkita.id yang dikelola oleh JKPP, portal berbasis parsial membagi dua peta menjadi peta kelola rakyat dan data konflik, hingga maret 2023 terdapat 560 tren konflik yang terdokumentasikan. Data tersebut menayangkan sebuah titik awal dari hampir seluruh wilayah kelola rakyat telah dikuasi oleh negara. Berdasarkan provinsi, kalimantan tengah paling banyak terjadi konflik sebesar terdapat 128 kejadian konflik dan perkebunan menjadi sektor utama penyebab konflik. Tanakita mencangkup terdapat kategori konflik baru diluar perkebunan dan kehutanan, sebanyak 46 konflik terekam yaitu konflik atas nama energi bersih.

Dashboard sebaran konflik dan wilayah kelola dalam portal https://www.tanahkita.id/dashboard_portal

Pada tahun 2020, koalisi Tanakita.id melakukan kajian, FAO mengatakan dunia ini akan kriris pangan di tahun 2020 karena pandemi. Di Indonesia sendiri mengeluarkan kebijakan food estate untuk mengatasi hal ini. Nyatanya dalam dua dekade terakhir indonesia telah kehilangan 51 hektar sawah per tahun. Banyak data yang menunjukan dari soal angka dan kategori konflik yang menyatakan bahwa modus perampasan ruang yang diberikan secara sengaja kepada investor menjadi modus yang sama dari tahun ke tahun. Alih fungsi lahan secara sengaja.

Narasumber lainnya, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjo, S.H., M.C.L., M.P.A. menuturkan kebijakan pertanahan paska kebijakan UU Cipta Kerja yang berpotensi dalam perampasan tanah masyarakat dan lokal. “Bicara mengenai tanah masyarakat adat berarti bicara mengenai semua sektor. Berbagai jenis konflik merupakan konflik struktural yang terbit dari kebijakan penetapan satu pihak pemerintah yang kebetulan memanfaatkan tanah-tanah masyarakat adat. Ketimpangan akses dan perebutan wilayah kelola merupakan akar permasalahan yang tidak mudah diselesaikan.”

Prof. Maria mengungkapkan, beberapa hal dalam sektor pemegang kebijakan membuat UU masyarakat adat masih berdasarkan kepentingan masing-masing dengan penyelesaian konflik yang seringkali tidak pernah tuntas. Sehingga isu isu krusial terjadi seperti tidak pernah nampak UU dirumuskan dan dihadapkan pada golongan masyarakat yang jelas, apakah masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, atau pada tanah-tanah adat yang ditinggalkan secara personal. Ketidaktegasan ini membuat kebingungan banyak pihak, dan menimbulkan permasalahan yang dianggap bagi pengusun UU sektoral tidak ada keutuhan dalam hukum UU masyarakat adat.

Menanggapi dua penuturan narasumber tersebut, Roy Murtadho atau yang akrab disapa Gus Roy selaku anggota pengurus perkumpulan Indoprogress dan kader Front Nahdliyin untuk Kedauatan Sumber Daya Alam menjelaskan, pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 tahun 2021 lalu, Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al- Waqi’iyah mengambl keputusan hukum yang sangat penting bahwa tanah yang sudah ditempati rakyat selama bertahun-tahun, meski belum mendapatkan rekognisi status kepemilikannya oleh negara, tidak boleh diambil oleh pemerintah maupun investasi. Jadi, tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha” (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya” (pengelolaan lahan), maka pemerintah atau invetasi haram mengambil tanah tersebut

Pandangan NU ini juga bisa dilihat sebagai pengambilan tongkat estafet atas putusan Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015, yang memfatwakan bahwa mengalihfungsikan lahan produktif seperti lahan pertanian atau ladang menjadi perumahan, perkantoran atau pabrik yang diyakini berdampak madharah ammah (mudarat yang nyata) pada perekonomian rakyat, hukumnya haram. “Jika pandangan keagamaan seperti NU telah menunjukan keberpihakannya pada petani, mengapa perampasan tanah masih terus berlansung, bahkan semakin hebat?”

Gus Roy menjelaskan, Perampasan tanah masih terus berlangsung sebab tidak hanya NU, tapi sebagian besar kelompok agama lainnya, masih gagal merumuskan secara konseptual dan operasional tentang apa itu pembangunan, apakah pembangunan dimaksudkan pertumbuhan ekonomi dalam kerangka kapitalisme. Selama masih dalam tata kelola governance neoliberalisme, maka masyarakat akan selalu menghadapi perampasan tanah dan konsentrasi penguasaan alat produksi berupa sumber-sumber agraria di tangan segelintir orang. Bisa kita lihat, ada banyak sekali regulasi yang sebenarnya lebih menguntungkan para pemilik modal dan kepentingan investasi dibanding kepentingan rakyat dan lingkungan, diantaranya adalah UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; PP Perubahan atas PP No 23 tahun 2010 tentang kemudaan izin usaha untuk pertambangan; PP No 26 & 29 tahun 2012 tentang Kawasan Ekonomi Khusus industry; Perpres No 56 tahun 2011 tentang Pengadaan infrastruktur; dan yang paling baru adalah UU Minerba dan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sebagai penutup dalam forum Syi’ar Agraria ini, Gus Roy menyatakan tak ada cara yang lebih memadai untuk menghadapi perampasan tanah melalui hegemoni negara selain memperkuat pendidikan politik pada masyarakat luas, melampaui sektor agraria itu sendiri. Tanpa pendidikan politik yang mencakup seluruh spektrum sosial, maka tidak akan ada perubahan paradigmatik maupun politik atas arah kebijakan agraria yang lebih adil.

Penulis : Annisa Aliviani

Editor : (Thomas Oni Veriasa)