Kolang Kaling Tak Membuat Mereka Berpaling

Siapa yang tidak tahu dengan buah ini, ya benar, itulah buah kolang kaling atau masyarakat sunda biasa menyebutnya dengan carulug. Buah yang dihasilkan dari pohon aren atau masyarakat sunda menyebutnya dengan pohon kawung.

Kolang kaling, carulug, apapun sebutannya

Siapa yang tidak tahu dengan buah ini, ya benar, itulah buah kolang kaling atau masyarakat sunda biasa menyebutnya dengan carulug. Buah yang dihasilkan dari pohon aren atau masyarakat sunda menyebutnya dengan pohon kawung. Buah yang identik dengan datangnya bulan ramadhan. Biasanya buah ini diolah untuk dijadikan manisan, es buah, kolak dan olahan makanan lainnya. Namun, dibalik semua kenikmatan rasanya, masih banyak orang yang belum tau dan mengerti, bagaimana pemrosesan hingga kolang kaling bisa dikonsumsi, bahkan tidak semua orang tau jika kolang kaling yang selama ini kita konsumsi berasal dari pohon aren. 

Butuh proses yang sangat panjang dari buah carulug agar dapat dikonsumsi. Selama perjalanan kami dalam Ekspedisi Sosial Forestri LATIN di Desa Pakuon, kami mengikuti jejak perjalanan salah satu petani hutan untuk melihat bagaiman pemrosesan buah carulug menjadi kolang kaling. Akhirnya, kami pun mengikuti perjalanan mulai dari awal hingga akhir, hingga kolang kaling siap dan aman untuk dikonsumsi. Kang Edi dan Kang Isur merupakan salah satu anggota KTH Rindu Alam, Desa Pakuon yang hingga saat ini masih memproduksi kolang kaling yang kemudian mereka jual. Sudah dari dulu, mereka telah memanfaatkan pohon aren sebagai salah satu pendapatan tambahan sembari mereka mengolah lahan untuk berkebun. Selain memproduksi kolang kaling mereka juga memanfaatkan pohon aren untuk disadap air niranya kemudian diproses menjadi gula aren.

Waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WIB, sinar cerah pagi hari seakan memberikan semangat untuk kami. Kami bersama dengan Kang Edi dan Kang Isur mulai beranjak, berjalan kaki melewati pematang sawah yang becek menuju kebun pohon aren miliknya. Sesampainya di salah satu pohon aren, Kang Edi dengan sigap mengayunkan langkah kakinya di batang bambu yang dibuat sedemikian rupa untuk tempat berpijak lalu memanjat pohon aren dengan sangat cekatan. Namun, sangat disayangan calon buah carulug yang ingin dipanen Kang Edi ternyata sudah terlewat tua, dan terpaksa tidak dapat dipanen dan diolah menjadi kolang kaling. Kami pun bertanya kepada Kang Edi, untuk apa buah yang terlanjur tidak bisa dipanen tersebut. Dengan suara yang penuh ikhlas, beliau menjawab “Biarkan saja, biarkan menjadi makanan musang hutan”, sungguh terasa dengan lapang dada Kang Edi mengikhlaskan carulug yang terlewat tua tersebut. Beliau hanya bisa berharap semoga musang-musang di hutan bisa membawa benih pohon aren kemanapun, sehingga populasinya akan semakin banyak. Menurut kepercayaan masyarakat, hanya pohon aren yang disebarkan langsung oleh musang saja yang memiliki produktivitas yang sangat baik, berbeda dengan pohon aren yang sengaja ditanam. Hal tersebut karena musanglah yang menjadi pemeran utama, ia mampu memilih benih pohon aren berkualitas baik dari buah carulug yang ia makan, karena musang hanya memakan buah carulug yang benar-benar matang. Tak lama kemudian, kami bersama Kang Edi dan Kang Isur melanjutkan langkah kami ke pohon aren di lahan lainnya. Tibalah di sana, mereka dengan sigap Kang Edi dan Kang Isur bekerja sama untuk mengambil buah carulug. Terlihat Kang Edi dengan cekatan menaiki sebatang anak tangga dari bambu tersebut. Tak sulit bagi Kang Edi untuk meraih dan memanen carulug di pohon aren yang memiliki ketinggian lebih dari 10 meter. Kang Edi mengambil beberapa sisir buah carulug dan menjatuhkannya ke tanah. Dengan sigap Kang Isur menggotong buah carulug tersebut dan memindahkannya. Kami pun dihimbau dan disarankan untuk tidak menyentuh carulug tersebut, karena memang getah buah carulug sangat gatal bagi yang belum terbiasa. Bahkan menurut cerita Kang Isur dan Kang Edi, mereka masih beberapa kali merasakan gatal walupun sudah terbiasa, sehingga mereka harus hati-hati dalam megolah carulug tersebut. Satu hal yang tidak semua orang ketahui, tentang bagaimana melihat buah carulug yang siap dipanen. Kang Isur pun menjelaskan kepada kami tentang bagaimana memilih buah carulug yang siap dipanen. Caranya sangat mudah, pertama dengan membelah buah carulug menjadi dua bagian, selanjutnya tancapkan sebatang lidi ke daging carulug tersebut. Apabila saat lidi ditancapkan terasa sulit dan keras, pertanda bahwa carulug sudah terlewat tua dan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Bergitu juga saat lidi diangkat dan buah carulug dengan mudah lepas, pertanda jika buah carulug belum siap dipanen karena masih terlalu muda. Kang Edi lalu menjelaskan kepada kami tentang tanda buah carulug tepat dipanen ialah saat buah carulug ditusukkan lidi ke daging buah, lidi mampu tertancap dan tidak terasa keras dan saat lidi diangkat carulug tidak jatuh. Cara yang mudah dan telah diwariskan turun temurun dari nenek moyang mereka dan hingga saat ini tetap mereka gunakan sebagai cara memilih carulug yang siap dipanen.

Memang tak semudah saat kita memakannya

Perjuangan untuk menjadi semangkuk kolang kaling di atas meja belum usai, masih diperlukan proses yang panjang untuk bisa dikonsumsi. Masih banyak keluh dan peluh yang harus dikuras dan mereka ikhlaskan demi senyum indah saat kalian memakannya. Proses selanjutnya ialah memisahkan masing-masing buah carulug dari tangkai buahnya. Setelah semua buah carulug terpisah, dilanjutkan dengan proses perebusan. Hampir semua pembuat kolang kaling merebus buah carulug langsung dibawah tajuk pohon aren miliknya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban yang dibawa karena memang sangat berat apabila buah carulug dibawa pulang ke rumah. Tak terasa, hampir menghabiskan waktu 2,5 jam untuk merebus buah carulug tersebut dengan sempurna. Selanjutnya dengan sigapnya, Kang Edi dan Kang Isur mulai mengupas semua buah carulug yang telah direbus. Namun tak disangka, saat tengah mengupas buah carulug, hujan deras tanpa aba-aba yang jelas, memaksa kamu untuk beteduh sejenak di saung terdekat. Sungguh perjuangan yang sangat panjang untuk menghasilkan kolang kaling yang selama ini kita konsumsi. Hujan deras pun membuat perbincangan santai kami semakin hangat tanpa batasan. Berbicara tentang segala hal yang terlihat maupun yang tak terlihat di depan mata. Tak lama, akhirnya hujan pun reda, Kang Edi dan Kang Isur kembali melanjutkan mengupas sisa buah carulug yang belum terkupas. Setelah semuanya selesai, dan langit semakin sore, kami pun memutuskan pulang untuk melanjutkan mengolah daging buah carulug tersebut. Pemandangan sawah dan pegunungan nan asri membuat ringat langkah kaki kami.

Kami terhenti karena waktu yang terbatas

Akhir perjalanan kami di Desa Pakuon bersama KTH Rindu Alam, harus terhenti setelah beberapa hari belajar dengan para anggota kelompok. Membawa nama Ekspedisi Sosial Forestri dari Lembaga Alam Tropika Indonesia, sungguh perjalanan dan pengalaman yang sangat berkesan dan berarti bagi kami. Banyak pelajaran yang harus kamu sebar luaskan, memberikan manfaat bagi khalayak luas dari kisah perjalanan berkesan kami di Desa Pakuon ini.

“BUKAN BERARTI KAMI TERHENTI DI SINI, NAMUN TERKONEKSI SELALU DAN SELAMANYA” – Fendy Surya Dana (Anggota Tim Ekspedisi)

Terima kasih kepada KTH Rindu Alam yang telah menyambut dan menerima kami di Desa Pakuon dengan sangat ramah. Semoga jiwa kami dan mereka selalu terkoneksi dimanapun dan sampai kapanpun. Tiga hari namun terasa sangat berlebih ilmu dan pengalaman yang kami terima saat di sana. Kami pun harus berpamitan dan melanjutkan perjalanan Ekspedisi Sosial Forestri selanjutnya ke Dusun Tunggilis, karena Kang Alo pada waktu itu sedang sakit, pamit kami pun diterima baik oleh Kang Isur sebagai perwakilan dari KTH Rindu Alam Desa Pakuon. Kami pun membawa oleh-oleh gula aren dan kolang kaling yang kami pun ikut melihat sendiri dan merasakan bagaimana proses pembuatannya dari awal hingga akhir. untuk melangkah pulang. Kami pun tiba di rumah Kang Edi, dengan cekatan beliau menyiapkan peralatan untuk proses selanjutnya. Di depan rumahnya berlantai papan, beliau menggeprek daging buah carulug tersebut menggunakan talenan dan ganden kayu. Dengan sangat telaten, tangan Kang Edi yang telah lelah namun tetap cekatan menggeprek semua daging buah carulug tersebut. Penggeprekan ini dimaksudkan agar kolang kaling yang dihasilkan nantinya dapat mengembang secara maksimal. 

Proses terakhir ialah perendaman kolang kaling, selain untuk melunakkan kolang kaling tersebut, perendaman dimaksudkan agar kolang kaling bisa mengembang dan awet. Semua perjalanan yang melelahkan dalam mengolah buah carulug menjadi kolang kaling telah siap untuk dikonsumsi, dari satu kilogram kolang kaling hanya dihargai 10.000 rupiah saja, sungguh tak sepadan rasanya saat membayangkan betapa lelahnya mereka dalam mengolah kolang kaling tersebut. Namun mereka tetap bersyukur masih diberikan kesehatan dan masih terus melihat dapur mereka mengepul. Biasanya para pengrajin kolang kaling memasarkan di masyarakat sekitar maupun tengkulak yang datang ke desanya. Walaupun perlu tenaga yang ekstra untuk mengolah kolang kaling, namun mereka tidak pernah berpaling. Terlihat jelas, di usia mereka yang harusnya menikmati masa tuanya denga kerabat dan cucunya, namun mereka masih rela terus mencari nafkah bagi keluarga tercinta. Setelah selesai mengikuti perjalanan mereka dari awal hingga akhir mengolah buah carulug menjadi kolang kaling siap konsumsi, kami pun berpamitan dengan Kang Edi dan Kang Isur untuk pulang dan beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk perjalanan selanjutnya.