Angkringan Hutan Jawa: Menyorot Keberagaman Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat


Pengelolaan hutan oleh masyarakat sudah dilakukan secara turun temurun jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga saat ini terdapat 19.410 desa yang berada di sekitar hutan, dengan jumlah penduduk sekitar 48,8 juta jiwa yang hidupnya bergantung pada hutan. Tiap masyarakat petani hutan memiliki pengetahuan dan pengalaman masyarakat berbeda, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, sosial dan perubahan kebijakan oleh negara.

Seri ketiga “Angkringan Hutan Jawa” membahas praktik baik dan catatan di lapangan dalam proses pengelolaan hutan oleh masyarakat. Kegiatan yang diinisiasi oleh LATIN dan Perkumpulan HuMa Indonesia ini dilakukan secara daring pada Kamis (14/12). Hadir sebagai pembicara adalah Wawan Gandrung, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Pemalang, Jawa Tengah. Siti Sopariah yang mewakili pemuda adat dari Kasepuhan Pasir Eurih dan Gunarti dari Masyarakat Sedulur Sikep yang menjaga kelestarian pegunungan Kendeng Jawa Tengah. Hadir juga Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University.

Wawan Gandrung menyebutkan bahwa masyarakat di tempatnya selain mengelola lahan untuk bertani mereka juga mendirikan ekowisata semenjak tahun 2013. Sebelumnya mereka menjalin Perjanjian Kerja sama (PKS) dengan Perum Perhutani. Hingga di tahun 2018 terbit izin pengelolaan Perhutanan Sosial skema Kulin KK. Berbagai pengalaman baik dan buruk pernah dia rasakan.

“Ada masyarakat kami yang pernah ditodong pistol oleh oknum polisi hutan. Hingga masyarakat takut dan khawatir untuk mengelola hutan. Pernah juga kami didatangi ke rumah untuk diminta sharing profit yang tidak sesuai hingga harus memberikan perhiasan istri. Namun setelah ada izin PS kami lebih merasa aman dan terus melakukan kegiatan pengelolaan sekaligus melestarikan hutan,” ungkap Wawan.

Sedulur Sikep memiliki ajaran yang mendasar yakni harus mampu bertahan hidup dengan bertani. Gunarti menyebutkan masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Bahkan sawah dan air yang diminum selama ini berasal dari Pegunungan Kendeng. Namun, karena kerusakan alam saat ini mata air berkurang dan harus dibagi-bagi merata saat kemarau.

“Sedulur Sikep adalah ajaran dari Mbah Samin yang berada di tiga kabupaten yaitu Pati, Blora, dan Kudus. Tahap pertama adalah bersentuhan langsung untuk saling menghidupi. Tahap kedua adalah hubungannya dengan peraturan atau pemerintah. Saya juga menjadi pengurus kelompok pengelola hutan. Perempuan memang penting dan harus selalu ikut serta dalam pelestarian lingkungan,” ungkapnya.

Hal selaras disampaikan oleh Siti Sopariah. Perempuan dari Kasepuhan Pasir Eurih ini menjelaskan bahwa masyarakat adat dan hutan tidak bisa dipisahkan. Karena hutan adalah ruang hidup dan tempat hidup masyarakat. Tahun 2019 kasepuhan Pasir Eurih mendapat surat keputusan Hutan Adat. Masyarakat menjalankan kearifan lokal tentang penjagaan hutan dan ketahanan pangan yang diwariskan oleh leluhur (karuhun) secara turun temurun seperti ritual rukun tuju.

“Bagi masyarakat kasepuhan hutan adalah untuk menunjang kehidupan untuk pangan, bahan bangunan rumah, mata pencaharian. Pengelolaan hutan memiliki pengetahuan yang diajarkan secara turun temurun dengan sistem zonasi. Pembagiannya ada tiga area utama diantaranya leuweung kolot atau hutan titipan yang dijaga dan dimiliki oleh adat yang tidak bisa diklaim secara pribadi. Wilayah ini harus ada izin dahulu dna mematuhi tata aturan yang berlaku”, tambahnya.

Kedua, leuweung titipan yaitu kawasan hutan lindung yang berupa sumber mata air, dan pohon. Ketiga adalah leuweung garapan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai kebutuhan masing-masing. Biasanya terdiri dari ladang, kebun, dan sawah.

Sementara itu Prof Hariadi mengingatkan saat ini adalah masa transisi yang cukup besar dimana lahan yang dikelola Perhutani kemudian dibagi untuk dikelola masyarakat dalam kerangka kebijakan KHDPK. Poin pentingnya adalah kesepakatan untuk memastikan pengelolaan yang baik. Saat ini berkembang multi usaha kehutanan untuk mengelola hutan, salah satu cerita baik adalah menanam tanaman yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Misalnya alpukat yang menjadi andalan masyarakat di Lampung. Perlu adanya perencanaan yang baik, pengembangan usaha, jalur distribusi, hingga menggunakan pendekatan digital marketing.

“Setelah perizinan Perhutanan Sosial, selain untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari tapi lahan bisa dikembangkan dalam skala bisnis. LATIN dan HuMa bisa memfasilitasi ragamnya pengetahuan yang ada. Sudah sangat banyak cara baru dan inovasi yang bisa kita pelajari. Keberhasilan ini sangat terkait dengan aktivitas masyarakat, di lapangan pasti ada problem. Maka perlu adanya modal sosial dan koordinasi yang baik”, tambah Hariadi.

Ia memberikan masukan keberhasilan ini ditandai oleh kemampuan mengorganisasikan masyarakat. Pekerjaan ini menitikberatkan terhadap kemampuan masyarakat dalam menyesuaikan diri untuk mengelola hutan. Maka harus berfokus pada pengelolaan yang baik terhadap perizinan yang telah diterima. Namun jangan semuanya ditanggung sendiri oleh petani. Harus saling membantu dan saling fasilitasi satu sama lain.

Keyword: Hutan Jawa, Sedulur Sikep, Perhutanan Sosial, Modal Sosial

Penulis : Novan Aji dan Bambang Tri Daxoko
Editor : Thomas Oni Veriasa