Menimbang Sertifikasi Hutan untuk Sosial Forestri 2045

Lestarilah Indonesia Musim 11 kali ini spesial untuk untuk merayakan 33 tahun Lembaga Alam Tropika Indonesia. Bersama Hartono Adi Prabowo sebagai narasumber akan berbincang mengenai sertifikasi hutan.

Lestarilah Indonesia Musim 11 kali ini spesial untuk untuk merayakan 33 tahun Lembaga Alam Tropika Indonesia. Bersama Hartono Adi Prabowo sebagai narasumber akan berbincang mengenai sertifikasi hutan. Beliau saat ini berkiprah di Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia sebagai FSC Country Manager Indonesia, sekaligus salah satu founder dari Lembaga Alam Tropika Indonesia.

Ia punya pengalaman luar biasa berkaitan dengan hutan, mulai dari keterlibatan profesionalnya dalam pengusaha perusahaan pengusaha hutan di Kalimantan, kemudian aktif di dalam konsultasi untuk menyiapkan dan membantu banyak pihak agar produk-produk kayu yang dihasilkan mempunyai trisibility, jadi mempunyai kemudahan dan kejelasan asal usul dari mana produk kayu dihasilkan, sekarang aktif dalam organisasi pengembang standar sustainable forest management yang dikenal sebagai FSI.

Menurut Hartono, saat ini ada beberapa perusahaan yang menunjukkan komitmennya untuk bergabung dalam sertifikasi, walaupun masih sangat kecil dibandingkan jumlah total konsesi hutan alam maupun hutan tanaman yang ada di Indonesia. Dalam konteks ini, sertifikasi adalah sebuah konsep yang memberikan apresiasi kepada para pengolah hutan, baik perusahaan maupun masyarakat yang telah memenuhi standar sustainability dalam mengelola hutan. Secara umum standar itu diukur dari tiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Jika lulus, maka diberikan sertifikat kelulusan sebagai perusahaan yang menerapkan praktek-praktek sustainable forest management atau responsible forestry. Saat ini di Indonesia sudah ada 3,2 juta hektar hutan yang sudah bersertifikasi.

Sertifikasi membutuhkan biaya dan persyaratan tertentu, dan biasanya perusahaan kayu besar yang mampu untuk melakukan sertifikasi. Untuk hutan rakyat, mereka mengajukan sertifikasi bukan sebagai individual, tetapi mereka bergabung dalam kelompok, bisa dalam bentuk paguyuban kelompok tani ataupun koperasi. Hal ini dilakukan karena mereka umumnya memiliki lahan yang terbatas, ditambah biaya untuk persiapan maupun biaya sertifikasi yang bisa lebih mahal dibandingkan dengan jumlah produksi. Terdapat skema yang disebut dengan group certification atau kelompok sertifikasi yang memungkinkan kelompok petani yang ada untuk bergabung. Sehingga secara produksi dan secara ekonomi juga sudah cukup menguntungkan untuk melanjutkan sertifikasi.

Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam mengajak petani hutan skala kecil untuk bersertifikasi. Skema sertifikasi disusun berdasarkan ilmu-ilmu kehutanan yang berlaku. Kadang istilah ini buat petani itu hal baru. Mereka pada umumnya bertanam kayu untuk sekedar menyambung hidup, bukan sebagai kegiatan bisnis pada umumnya. Contohnya di Jawa kan dikenal tebang butuh. Mereka masih belum berpikir mengenai kelestarian, apalagi untuk bisa memahami persyaratan itu juga perlu waktu. “Di Indonesia sertifikasi hutan rakyatnya lama justru bukan bagaimana memberikan pemahaman mereka terhadap konsep-konsep sertifikasi, tetapi mereka mau bergabung dalam kelompok untuk bisa maju ke sertifikasi ini juga suatu suatu proses yang cukup lama untuk meyakinkan mereka. Pandangan bahwa tanpa sertifikat kami bisa tetap jual kayu. Nah ini kan sesuatu yang menantang untuk menyediakan insentif.”

Hartono tidak menjanjikan manfaat ekonomi, tapi lebih kepada peningkatan kualitas, peningkatan produktivitas, peningkatan kinerja, yang diharapkan justru manfaatnya adalah secara tidak langsung produktif tanaman, misalnya kualitasnya lebih bagus sehingga harganya juga akan lebih bagus. Jadi sebetulnya sertifikasi ini harapannya bisa dipakai sebagai alat untuk meningkatkan performance dari small holder.

Menurut Hartono sekarang orang berlomba-lomba untuk kembali ke kayu termasuk di konstruksi. Konstruksi kemasan semua kembali ke kayu bahkan sudah ada yang namanya kayu transparan. Sehingga kebutuhan kayu itu pasti akan meningkat. Menurutnya dalam obrolan ini Indonesia harus mulai mengembangkan strategi bagaimana menyiapkan hutan-hutan kita yang sudah ada ini, yang mungkin dalam kondisi agak rusak ini, untuk berkembang. “Kenapa kayu karena memang ketika kita menggunakan kayu maka sebenarnya kita mencegah terjadinya emisi karbon, ketika kita menggunakan kayu maka berarti kita menyimpan karbon di bangunan itu sepanjang pembangunan itu belum terbakar.” Beliau pun saat ini sudah melakukan perkenalan antara asosiasi arsitek designer dengan teman-teman pengusaha kayu di Indonesia.

Dalam menanggapi masa depan sosial forestry, bagaimana kita berkolaborasi dengan para pihak yang terkait, baik di dalam maupun di luar Indonesia yang sudah establish mengenai sosial forestri. Beliau yakin bahwa suatu saat peran masyarakat akan menjadi lebih besar, bukan berarti menghilangkan bisnis skala besar, mereka akan lebih sehat dan kuat jika didukung oleh masyarakat yang kuat. Sertifikasi bisa menjadi sebuah alat untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas. Sistem sertifikasi pun harapannya akan mengikuti perkembangan karena standar persyaratan bisa selalu berubah mengikuti kondisi yang ada. (IK)