Dari Biji Kopi Agroforestri hingga Investasi

Kopi. Ya, siapa yang tidak mengenal tanaman yang menghasilkan biji kopi yang sangat nikmat ini. Suguhan kopi yang selalu menjadi teman setia di kala senggang dengan teman dan kerabat, diseduh sembari menikmati suasana yang tenang dan santai.

Cerita singkat dari cita rasa kopi yang nikmat

 

Kopi. Ya, siapa yang tidak mengenal tanaman yang menghasilkan biji kopi yang sangat nikmat ini. Suguhan kopi yang selalu menjadi teman setia di kala senggang dengan teman dan kerabat, diseduh sembari menikmati suasana yang tenang dan santai. Kopi Identik dengan minuman yang memberikan semangat dan motivasi. Tak sedikit orang yang mengawali harinya untuk menikmati satu cangkir kopi di pagi harinya yang cerah.

 

Kopi merupakan salah satu komoditas masyarakat yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Selain itu, kopi juga telah menjadi komoditas ekspor ke luar negeri. Kopi pertama kali dikenalkan di Indonesia pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1696. Pada masa itu, jenis kopi arabika yang ditanam menuai kegagalan. Pada tahun 1699, Hindia Belanda kembali mendatangkan kopi arabika dan kemudian berkembang pesat di Pulau Jawa. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki iklim tropis dengan tanah yang subur, membuat pesona rasa kopi yang beragam. Komoditas kopi di Indonesia memiliki perkembangan yang cukup signifikan.

 

Seperti yang diketahui, beberapa wilayah di Indonesia dikenal sebagai penghasil kopi terbaik di dunia. Rata-rata jenis kopi dibudidayakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis robusta (90%) dan 10% sisanya jenis arabika. Dua jenis kopi yang memiliki cita rasa yang berbeda dan memiliki penikmatnya masing-masing. Tak sedikit kedua jenis kopi ini diracik dan dikombinasikan untuk mencari cita rasa yang pas dan kuat dengan kadar dan takaran tertentu. Umumnya, jenis kopi robusta bercita rasa lebih pahit daripada jenis kopi arabika yang lebih menonjolkan rasa yang cenderung asam dan sedikit pahit. Namun dibalik semua kenikmatan kopi yang dinikmati, tak banyak orang yang sadar dan memikirkan bagaimana peran para petani kopi yang terus menjaga agar cita rasa secangkir kopi yang dihasilkan tetap terjaga.

 

Kopi, dijaga dan dirawat seperti anak sendiri

 

KTH Rindu Alam yang rindu akan alamnya, saat ini dengan lahan seluas 1,8 Hektar yang dibagikan kepada setiap anggota, seluruhnya dimanfaatkan untuk berkebun kopi. Kopi robusta menjadi tanaman yang berhasil dipilih untuk dijadikan tanaman budidaya setelah program PS dari pemerintah datang. Selain topografi dan iklim yang cocok, kopi dipilih karena pertumbuhan kopi sendiri tidak merusak ekosistem, baik tanah dan ekosistem ekosistem lainnya. Selain itu kopi yang ditanam di lahan Perhutanan Sosial mereka memiliki sistem penanaman secara agroforestri, sehingga pada penanaman kopi tidak merusak ekosistem hutan dengan tidak perlu menebang pohon.

 

Masyarakat juga menanam beberapa tanaman komoditas lainnya, seperti jengkol, alpukat dan durian. Namun secara presentasi dari lahan yang digarap memang didominasi oleh tanaman kopi. Tanaman kopi yang ditanam oleh KTH Rindu Alam, saat ini masuk ke tahun ke-3. Sudah tiga tahun semenjak izin legal pengelolaan kawasan hutan di desanya terbit. Memang terlihat dari tanaman kopi yang ditanam, masih terpaut muda dan jarang karena memang kopi tersebut baru belajar untuk berbuah.

 

Sebelum mengenal PS, para masyarakat Desa Pakuon yang dulunya tergabung ke dalam LMDH dan beberapa masyaraka lainnya telah memiliki lahan di hutan. Mereka juga telah membudidayakan tanaman kopi untuk beberapa kali. Dulunya para petani kopi Desa Pakuon menjual hasil panennya langsung ke tengkulak dengan harga yang bisa dibilang sangat murah, hanya dihargai 3.000 rupiah per kilogram kopi. Berdasarkan informasi, sebelum adanya bimbingan dari Green Iniciative Foundation atau Yayasan Prakarsa Hijau yang dibina langsung oleh sosok Tosca Santoso, para petani kopi tanpa pengetahuan untuk merawat tanaman kopi yang mereka tanam, mereka di kala panen kopi datang, mereka dengan asal memanen kopi tersebut. Bahkan buah kopi yang belum matang sempurna, juga ikut mereka panen. Memang, dengan cara tersebut lebih cepat dilakukan dalam memanen kopi, namun justru dapat merusak tanaman kopi itu sendiri dan bisa merusak pangkal buah kopi itu sendiri, masyarakat menyebutnya dengan cupat. Cupat ini merupakan tempat untuk bunga kopi tumbuh kembali, apbila cupat ikut dipanen, tentunya batang kopi juga akan terluka dan bakal bunga akan sulit untuk tumbuh kembali.

 

Semua kebiasaan panen yang telah melekat secara perlahan menghilang dari masyarakat. Hal tersebut terjadi karena pengaruh dan peran dari sosok Tosca Santoso yang pada suatu saat datang ke masyarakat petani kopi di Desa Pakuon. Dengan metode pendekatan beliau dengan mudah diterima oleh masyarakat, secara perlahan, kebiasaan panen yang buruk hingga saat ini tidak ditemukan lagi di desa tersebut. Sosok Tosca Santoso mendekati secara perlahan, mengajarkan kepada para petani kopi untuk memanen kopi yang matang saja, atau biasa disebut denggan petik ceri. Petik ceri ini dilakukan dengan memetik buah kopi yang matang secara sempurna dengan metode pemetikan yang benar. Biasanya masyarakat memetik kopi dengan cara diputar dan ditarik denggan lembut buah kopi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar cupat tidak ikut terbawa saat kopi dipanen.

 

Kopi dan agroforestri, pasangan yang serasi

 

Istilah agroforestri yang sering kita dengar, merupakan sistem pengkombinasian antara tanaman berkayu dengan tanaman pertanian dalam satu hamparan lahan tertentu. Kopi merupakan salah satu tanaman yang sangat cocok apabila ditanam menggunakan sistem ini. Hal ini dikarenakan sifat kopi yang membutuhkan naungan agar produksi lebih optimal dan buag matang lebih lamban namun sempurna. Dikutip dari tulisan sosok Tosca Santoso di website Negri Kopi Sarongge, beliau menyebutkan bahwa dengan kombinasi agroforestri kopi akan menghasilkan naungan yang cukup dan hal tersebut akan membuat produktivitas dan kualitas kopi semakin meningkat. Dengan naungan yang cukup dari tanaman keras yang ada, biji kopi yang matang secara lambat, akan menghasilkan gula yang lebih kompleks daripada kopi di lahan yang terbuka.

 

“KOPI TERBAIK SELALU BERASAL DARI KEBUN DENGAN NAUNGAN YANG CUKUP” – (shade coffee)

      foto

Tosca Santoso (Ketua Pembina GIF)

 

Direktur Jenderal PSKL-KLHK, Dr. Ir. Bambang Hendroyono, M.M juga menambahkan bahwa terdapat 291.441 Ha Perhutanan Sosial yang fokus pada kopi hutan. Betapa besar dan berhasilnya menanam kopi di areal hutan yang secara tidak langsung memuat sistem agroforestri di dalamnya. Selain beberapa hal di atas, beberapa penelitian berbasis kopi sangat relevan dan mampu meningkatkan produktivitas kopi. Hal ini dibuktikan melalui penelitian Hairiah dan Ashari pada tahun 2013 yang menyebutkan bahwa penggunaan sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi yang didapat. Selain itu, juga dapat berperan dalam konservasi tanah, air, keanekaragaman hayati, penambahan unsur hara, modifikasi iklim mikro, penambahan cadangan karbon, menekan serangan hama dan penyakit kopi dan dapat meningkatkan pendapatan para petani kopi. Mereka juga menambahkan, bahwa dengan agroforestri berbasis kopi juga berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim dapat diwujudkan dalam bentuk konservasi lahan, air dan biodiversitas serta pengendalian iklim mikro. Sedangkan mitigasi dapat diwujudkan dalam bentuk penambahan cadangan karbon sehingga emisi CO2 dapat dikurangi. Sungguh menjadi suatu ekosistem yang saling menyempurnakan, memiliki timbal balik yang saling menguntungkan tentang bagaimana alam menata dirinya dengan baik dari kopi yang ditanam petani dan petani pun mendapat hasil yang maksimal.

 

Hilir dari kopi yang selama ini mereka jaga

 

Yang dulunya, para petani kopi di Desa Pakuon menjual hasil panen kopinya ke tengkulak dengan harga yang sangat rendah, namun semenjak Program PS dari pemerintah datang dan setelah sosok Tosca Santoso mengajarkan tentang bagaimana memanen kopi yang benar, Negri Kopi di Sarongge yang merupakan kopi yang didirikan langsung oleh Tosca Santoso mulai menerima suplai hasil panen kopi dari Desa Pakuon. Negri Kopi juga memberikan harga yang hampir dua kali lipat dari harga tengkulak sebelumnya. Hal tersebut didasari oleh pernyataan Tosca Santoso yang sangat menghargai dan mengerti betapa susahnya bertani kopi di hutan.

 

Sungguh pengabdian yang mulia yang mewadahi hasil panen para petani kopi, bahkan hingga beberapa desa di sekitar Sarongge. Petani kopi pun merasa sangat senang bisa mendapatkan penghasilan yang lebih dari hasil panen kopinya yang ditampung oleh Negri Kopi Sarongge. Hingga saat ini, saat kami berkunjung di Desa Pakuon, beberapa anggota KTH Rindu Alam menyebutkan bahwa kopi yang mereka tanam saat ini bisa menjadi nilai investasi di masa yang akan datang. Hal tersebut didasari oleh asumsi dari harga kopi yang telah mereka dapatkan dari Negri Kopi Sarongge, mereka pun dapat membayangkan keuntungan yang akan mereka dapat nantinya. Para anggota kelompok berasumsi jika lahannya dengan luas 1.8 Ha tersebut ditanami kopi dengan jarak tanam sekitar 2,5 x 2,5 meter, maka setiap lahan mereka akan ditemukan sekitar 2.880 batang tanaman kopi. Jika diasumsikan satu tanaman kopi dapat menghasilkan dapat menghasilkan 3 kilogram kopi selama rangkaian panen raya, maka dengan harga kopi sebesar 5.000 rupiah setiap kilogram petik ceri, mereka akan mendapatkan pemasukan sekitar 45 juta rupiah. Hal itulah yang mendasari para petani kopi untuk menjadikan kopi mereka tanam sebagai investasi di masa mendatang. Inilah yang terus menjadi semangat para petani kopi di Desa Pakuon dan petani di daerah lainnya untuk terus merawat dan menjaga kopi yang mereka tanam seperti seorang anak sendiri. Selain itu mereka juga secara tidak langsung ikut serta dalam melestarikan dan menjaga hutannya.