Pembayaran atas jasa lingkungan oleh plan vivo
Perjalanan Ekspedisi Sosial Forestri di pulau seribu masjid, terus menggiring kami untuk mengunjungi lokasi lain, yang menerapkan praktik-praktik Sosial Forestri. Kami pun dibawa ke salah satu desa, yang mana merupakan satu-satunya yang mampu menerapkan program REDD+ maupun PES (Payment Ecosystem Services) dengan skema Plan Vivo di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Desa tersebut yakni Desa Aik Bual, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah. Sebelumnya, desa ini telah mendapatkan Izin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) sejak tahun 2012. Nama HKm di lokasi tersebut sesuai dengan nama desa, yakni HKm Aik Bual.
Mungkin tidak asing lagi bagi kalian saat mendengar Plan Vivo tersebut. Benar, Plan Vivo merupakan sistem sertifikasi hutan lestari yang memiliki basis PES atau sering disebut sebagai Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) dan karbon hutan. Dalam implementasiannya, Plan Vivo menggunakan metode avoid deforestation yaitu mencegah deforestasi atau stabilitasi ambang minimum deforestasi, reforestasi/ aforestasi dan planned deforestation.
Selain itu, merujuk pada Modul Pengisian Pin Plan Vivo dari KpSHK, Plan Vivo merupakan salah satu lembaga non profit yang telah diakui dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/ Menhut-II/2009 tentang pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung dengan usaha pemanfaatan penyerapan karbon dan/atau penyimpanan karbon. Plan Vivo juga telah menerapkan standarnya di berbagai negara. Sampai saat ini, telah banyak lembaga yang menggunakan skema Plan Vivo sebagai suatu kerangka kerja untuk mengelola proyek- proyek berbasis masyarakat. Dalam mendapatkan sertifikasi Plan Vivo, terdapat beberapa tahapan salah satunya pengisian dokumen PIN (Project Idea Note) untuk mengetahui secara umum kondisi wilyah yang di ajukan.
Pada hal ini, salah satu bentuk mekanisme dari skema Pembayaran Jasa Lingkungan yang ada di HKm Aik Bual yaitu dengan jasa lingkungan yang diberikan oleh KTH Aik Bual melalui penerapan sistem agroforestri dalam HKm dan saat ini telah mendapatkan sebuah imbalan dari pengguna jasa. HKm Aik Bual sebagai penerima manfaat dari dana imbal jasa lingkungan memiliki kewajiban dalam pelestarian kawasan hutan miliknya yang baru 100 hektar dari total 486 hektar
PJL yang berawal dari kerusakan hutan Aik Bual
Saat langkah kami ke HKm Aik Bual untuk menelusuri bagaimana capaian tersebut di lapangan, kami terhenti sejenak di rumah Pak Nur yang mana merupakan Ketua HKm Aik Bual. Sambutan ramah layaknya masyarakat lombok pada umumnya dengan suguhan minuman yang merupakan produk asli desa tersebut yaitu wedang gula semut. Kami pun bertukar kabar dan cerita tentang perjalanan kami di Pulau Lombok ini. Tak lama pun giliran Pak Nur menjelaskan secara detail mengenai HKm Aik Bual yang beliau pimpin hingga saat ini.
Ternyata, saat kami menarik mundur atas keberhasilan dari pengelolaan HKm Aik Bual atas pengakuan Plan Vivo, kami menemukan cerita menarik dari Pak Nur berdasarkan sejarah kawasan yang saat ini dikelola oleh HKm Aik Bual. Menurut penjelasan beliau, dulunya pada tahun 2006 kawasan tersebut merupakan lokasi sasaran penebangan liar (illegal logging) dimana hampir 80% kawasan mengalami kerusakan. Dilanjut dengan program Gerakan Rehabilitasi Hutan (Gerhan) yang pada waktu itu ditawarkan kepada pihak CV berdasarakan tender. Namun hingga tahun 2009 dari program
Awal mula plan vivo datang ke aik bual
Hingga pada suatu ketika, isu kerusakan hutan dan degradasi terus menjadi isu nasional yang tidak hanya membuat kekhawatiran Indonesia, namun tedengar hingga kancah internasional. Pada tahun 2011, Flora and Fauna International (FFI) masuk ke Desa Aik Bual yang berawal dari pengelolaan wilayah DAS Renggung, dimana Desa Aik bual merupakan hulu dari DAS tersebut. Selain itu, Desa Aik Bual memiliki potensi sumber daya yang strategis seperti tujuh mata air yang dimanfaatkan PDAM untuk mengaliri Kabupaten Lombok Tengah. Dengan bantuan FFI, mereka membantu mempromosikan Aik Bual menjadi IUPHKm. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2012, Desa Aik Bual bisa mendapatkan SK dari Bupati Lombok Tengah untuk dapat mengelola hutan berbasis Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Gunung Rinjani dengan luas 486 Ha. Luasaan tersebut dikelola dan dimanfaatkan bagi 418 Kepala Keluarga (KK).
Tahun 2015 menjadi momen penting bagi Kelompok Tani Hutan Aik Bual dimana mereka menandatangani sebuah kontrak pembay
aran jasa lingkungan atau PES karbon dari skema Plan Vivo yang pada saat itu yang baru 100 Ha. Pada tahun 2016, pembayaran pertama KTH Aik Bual diberikan sebesar 53 juta dengan penerima manfaat sebanyak 72 petani hutan, dilanjutkan tahun 2017 sebesar 103 juta dengan penerima berjumlah 100 orang dan tahun 2018 menjadi pembayaran ketiga dan terakhir bagi Aik Bual sebesar 103 juta dengan jumlah petani yang mendapatkan manfaat sebanyak 164 orang. Setiap tahunnya, dari total pembayaran jasa lingkungan yang didapat akan dialokasikan sebanyak 70% untuk penggarap yang lahannya memenuhi syarat dan 30% sisanya dibagi untuk kas kelompok 15% dan 15% lagi untuk desa. Besaran 15% untuk alokasi ke desa, secara sepakat desa membentuk kelompok pengamanan hutan dan membuat suatu kebun bibit untuk cadangan penyulaman bagi masyarakat penggarap. Hanya penggarap yang telah memenuhi syarat saja lah yang dapat bisa menerima pembayaran atas jasa lingkungan yang diberikan, syarat minimal ialah dalam satu hektar lahan penggarap harus ada minimal 350 pohon, dimana akan dilakukan perhitungan dan pemetaan serta pemberian koordinat dari masing-masing pohonnya.
Tahun 2019 menjadi tahun yang sangat berbeda dengan periode 3 tahun sebelumnya, 2016 hingga 2018 HKm Aik Bual mendapatkan pembayaran jasa lingkungan dari skema Plan Vivo yang diterapkan, namun mulai 2019 hingga saat ini tidak lagi mendapatkannya. Terdapat perbedaan pemikiran, asumsi dan kebijakan antara keinginan masyarakat dan kebijakan dari pemerintah sendiri. Pak Nur menjelaskan kepada kami mengapa hal tersebut dapat terjadi, yang tak lain karena kebijakan baru dari pemerintah yang beliau pun tidak terlalu paham. Intinya dalam kebijakan baru tersebut, pemerintah menginginkan jika semua kegiatan perdagangan karbon haru melalui pemerintah, namun dari pihak donor Plan Vivo tidak mau apabila mereka harus melalui pemerintah dalam pembayaran jasa lingkungannya. Hanya itulah yang kami dapatkan dari penjelasan Pak Nur, Ketua HKm Aik Bual.
Secara umum kondisi hutan HKm Aik Bual saat kami terjun langsung ke lapangan, banyak ditemukan pohon jenis buah-buahan karena memang pada masa pengajuan HKm yang dibantu oleh FFI, masyarakat menginginkan adanya jenis bibit untuk dibudidayakan di HKm. Lalu saat pengimplementasian dan pelaksanaannya, ditanamlah 30% tanaman kayu dan 70% ditanami dengan jenis buah-buahan.
Jalan tengah saat karbon yang hanya singgah
Ketidakjelasan kapan akan datang lagi para apresiator jasa lingkungan seperti pembayaran jasa lingkungan seperti skema Plan Vivo, membuat Pak Nur terfikir, apakah masyarakat tetap berlomba-lomba menjaga dan merawat hutan yang sebelumnya mereka perjuangkan, dan apakah mereka akan merusak hutannya lagi, itulah yang ada dalam benak beliau saat itu. Namun, Pak Nur sebagai pemimpin para masyarakat penggarap di Hkm Aik Bual berfikir, apakah kita harus berpangku tangan dengan mereka? menunggu hingga mereka datang atas kebijakan baru yang telah ada?, tentunya tidak, Pak Nur dan ratusan penggarap HKm harus memikirkan tentang bagaimana mereka tetap bisa produktif dan menghasilkan dari sumberdaya dan komoditas dari lahan-lahan HKm. Akhirnya dari sisa anggaran yang didapatkan, Pak Nur menginisiasi untuk membuat beberapa kelompok usaha agar roda perekonomian para penggarap tetap berjalan. Dari komoditas buah-buahan seperti durian, alpukat, duku, matoa, kopi, dan aren yang melimpah, mereka saat ini fokus untuk mengembangkan komoditas-komoditas yang telah ada. Alpukat yang telah dua kali panen, durian yang perdana panen tahun ini, dan aren yang sangat melimpah dan tersebar di hamparan HKm. Masyarakat biasanya mengolahnya komoditas arennya menjadi gula aren, namun saat ini telah dikembangkan menjadi gula semut yang menjadi ciri khas ole-oleh dari Desa Aik Bual. Setiap harinya, dari masing-masing pengrajin aren mampu mengolah 10 kilogram per hari. Selanjutnya, saat komoditas melimpah dan didukung pengolahan yang berkembang di kelompok, tantangan yang dihadapi selanjutnya ialah bagaimana produk-produk masyarakat dapat terpasarkan dengan baik. Kemudian, Pak Nur lagi-lagi membuat sebuah solusi dengan membuat suatu wadah berupa koperasi untuk kelompok yang berfungsi sebagai wadah kelompok untuk menampung hasil-hasil produk yang dihasilkan.