Pionir HKm Pulau Seribu Masjid

0
2 years ago

Sejenak refleksi terkait kehutanan Indonesia

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Sajak seperti itulah yang diamanatkan dari Pasal 33 (3) UUD 1945 yang secara jelas menyatakan bahwa kekayaan sumberdaya alam termasuk hutan di Indonesia yang saat ini telah dikuasai oleh negara dan untuk memakmurkan seluruh rakyatnya. Dari amanat yang tertuang tersebutlah yang mencerminkan tentang bagaimana semangat jiwa dan semangat kerakyatan berkeadilan dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia. 

Mari sejenak kita lihat Indonesia, betapa besar dan agungnya Indonesia saat dikaruniai sebuah hutan tropis yang paling luas dan kaya dari keanekaragaman hayatinya di dunia. Hampir puluhan juta rakyat Indonesia telah menggantungkan hidupnya dari hutan Indonesia, mereka mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan dan beberapa dapat bekerja di sektor kehutanan lainnya. Dengan luas hutan Indonesia sekitar 120,7 juta hektar yang senilai dengan 63,42 persen luas daratan, itulah kebesaran dan keagungan hutan di Indonesia, lalu bagaimana dan seberapa besar hutan tersebut dapat bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia?

Konsep forest for people telah membumi dimana mana, sekitar 4.9 juta hektar lahan telah diberikan kepada masyarakat oleh pemerintah dalam pelasanaan Sosial Forestri di penjuru Indonesia yang mencakup 1 juta lebih kepala keluarga (KK). Tentunya, ini adalah capaian yang sangat baik namun dalam pelaksanaanya masih menimbulkan banyak tantangan yang harus dihadapi bersama, yaitu tentang bagaimana meningkatkan kualitas dari Sosial Forestri tersebut. Tidak sedikit masyarakat yang kebingungan karena minimnya seorang pendamping di wilayahnya dan tak luput juga di masing-masing wilayahnya pasti memiliki konflik baik internal maupun dari eksternal masyarakat. Lalu bagaimana nasib Sosial Forestri dengan Komuniti Forestrinya di masa mendatang? Apakah terus melaju memberikan sebanyak mungkin akses bagi Sosial Forestri atau harus mempersiapkan cara untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat, yang tak lain untuk meningkatkan kualitas Sosial Forestri yang ada di seluruh Indonesia.

Hutan Kemasyarakatan, cocok bagi masyarakat?

Hutan Kemasyarakat atau sering disingkat dengan sebutan HKm ini, merupakan salah satu skema atas pemberian akses legal oleh pemerintah untuk masyarakat untuk mengerjakan dan mengelola lahan secara legal dalam konteks Sosial Forestri. Tentunya masih banyak skema lain tergantung karakteristik kawasan dan masyarakatnya.

Seperti dengan namanya, Hutan Kemasyarakatan dimanfaatkan dan memiliki tujuan utama yakni memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Dalam pengajuannya, ketua kelompok, ketua gapoktan, maupun ketua koperasi lokal dapat mengajukan HKm kepada pemerintah untuk diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Dalam peraturan pemerintah, kawasan HKm hanya berasal dari hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani izin. Beberapa peraturan perundangan telah menjadi payung hukum atas IUPHKm tersebut. Selain hutan produksi yang tidak dibebani izin, kriteria hutan lindung yang dapat diperuntukkan sebagai HKm ialah bukan kawasan yang hutannya masih bagus, tidak diizinkan membuka hutan baru dan HKm bisa dilakukan pada lahan yang telah kritis dan telah digarap oleh masyarakat selama beberapa tahun. Pasal 24 UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 memberikan keterangan tamabahan yaitu berbunyi “Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada Taman Nasional” yang dalam pasal tersebut menerangkan bahwa HKm tidak bisa di Hutan Konservasi.

Lalu apakah skema HKm cocok bagi masyarakat sekitar hutan? yang mana pada dasarnya masyarakat sekitar hutan telah dari dahulu kala semenjak zaman nenek moyangnya, mereka telah menggantungkan hidupnya dengan hutan. Presiden Joko Widodo mengarahkan agar akses pengelolaan Perhutanan Sosial harus aman dan tepat sasaran, 12,7 juta hektar telah dijanjikan dan didalamnya terdapat hak dari skema hutan kemasyarakatan. Dalam konteks hutan kemasyarakatan, sasaran utamanya ialah masyarakat miskin yang memiliki lahan yang terbatas, dimana masyarakat yang terdapat di sekitar dan di dalam hutan. Praktik HKm cenderung melibatkan anggota masyarakat yang benar-benar membutuhkan untuk kelangsungan hidupnya seperti contoh sasaran penerima manfaat HKm di atas.

HKm di Sesaot, jadi pionir HKm di Indonesia 

Merujuk pada penelitian dari KPsHK yang berjudul “Hutan Kemasyarakatan Hidup Matinya Petani Miskin”, HKm di Sesaot Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Utara menjadi asal mula (pionir) pengelolaan HKm pertama di Indonesia. Pada tahun 1995 di kawasan hutan Sesaot seluas 25 hektar, dikembangkan pola HKm yang berawal dari uji coba reboisasi swadaya yang difasilitasi oleh LP3ES-NTB dan Dinas Kehutanan NTB dari donor Ford Foundation. Ternyata, saat dilakukan evaluasi keberhasilan pada tahun 1998, menunjukkan hasil yang dapat dibilang berhasil, baik dari aspek konservasi dan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan adanya perluasan kembali terkait uji coba reboisasi tersebut di Kawasan Hutan Lindung Sesaot seluas 211 hektar oleh Dinas Provinsi NTB, sehingga pada tahun tersebut total luas HKm di Sesaot mencapai 236 hektar.

Masih merujuk dalam buku yang sama dari KPsHK, jika ditarik lebih jauh, sebenarnya masyarakat sekitar hutan Sesaot telah beraktivitas dan mengelola hutannya sejak tahun 1957, yang mana kawasannya masih dalam status kawasan hutan produksi. Pada tahun yang sama dalam program reboisasi yang dilalukan, jenis Sengon dipilih untuk ditanam di areal kawasan, selain itu jenis buah-buahan juga dipilih agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Setelah 10 tahun kemudian, pada tahun 1968-1969, masyarakat sekitar kawasan mulai melaksanakan praktik agroforestry dengan menanam kopi di sela-sela pohon. Dari penanaman kopi tersebut, saat kopi telah berusia 5 tahun, hasil dari kopi tersebut ditampung oleh Koperasi Rimbawan saat itu yang dibentuk oleh pihak kehutanan setempat. Pada tahun 1982, kawasan tersebut menuai program reboisasi kembali, tepatnya pada bekas HPH di Hutan Sesaot dengan jenis tanaman pionir seperti mahoni, sengon dan lamtoro, serta tak lupa tanaman buah yang bermanfaat bagi masyarakat dengan pola tanam Banjar Harian dan Tumpangsari, dan hasilnya menunjukkan hasil yang baik atas program tersebut.

Pengelolaan HKm Sesaot yang menjadi pionir utama HKm di Indonesia saat itu diawali dari kerusakan lahan yang diakibatkan oleh praktik Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 1997 yang menyebabkan banyak lahan-lahan terbuka di Kawasan Hutan Sesaot. Dari hal tersebut mengundang perhatian dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang turut memfasilitasi dalam memprakarsai HKm di Sesaot. Selain itu, beberapa kebijakan dari pemerintah daerah yang pada saat itu diberikan kebijakan otonomi daerah, turut mendukung dan memayungi atas perjalanan HKm di Sesaot.

 

Hal menarik yang lain ialah, dalam istilah HKm yang dianut oleh masyarakat. Memang dalam persepsi dan anggapan masyarakat, HKm tidak hanya pada kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi kawasan HKm, namun mereka menganggap jika hutan-hutan yang mereka buka dan dijadikan lahan pertanian yang dalam konteks ini ialah agroforestri, sebelum ada izin atas akses legal dari pemerintah. Terdapat tiga macam penguasaan HKm di Sesaot, antara lain: Penguasaan HKm Formal yang telah memiliki IUPHKm, Penguasaan HKm Non-Formal yang tanpa memiliki izin apapun atas negara dan Penguasaan HKm Campuran, dimana penguasa HKm memiliki kombinasi antara yang telah legal dan yang belum legal atas izin dari pemerintah. Dari perjalanan HKm di Sesaot, dampak yang sangat baik dirasakan langsung oleh masyarakat, dimana perekonomian mereka semakin membaik yang mana dulunya mereka hanya menjadi buruh tebang yang merusak hutannya, saat ini mereka dapat memanfaatkan dan mengelola hutan tanpa membuka dan merusaknya. Total luas HKm di kawasan hutan Sesaot ialah 6.700 hektar yang dikelola oleh tiga kelompok yang tergabung pada KMPH Mitra Sesaot, diantaranya ialah Wana Darma, Wana Lestari dan Pakuan Lestari. Saat ini masing-masing di antaranya selain mengelola hasil bumi dari hutan HKmnya seperti kemiri dan kakao, mereka juga perlahan mengembangkan praktik-praktik usaha diantaranya seperti madu kelulut. Usaha tersebut dilakukan tidak lain untuk meningkatkan taraf pendapat mereka.

Leave a Reply